Minggu, 29 September 2013

RAMBUT RASULULLAH SAW


RAMBUT RASULULLAH SAW.  

حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ شَعَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجِلًا لَيْسَ بِالسَّبِطِ وَلَا الْجَعْدِ بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ. (رواه البخاري :  5454 -   صحيح البخاري – المكتبة الشاملة)
Telah menceritakan kepadaku 'Amru bin Ali, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir dia berkata; telah menceritakan kepadaku Ayahku, dari Qatadah dia berkata; saya bertanya kepada Anas bin Malik ra,  mengenai rambut Rasulullah saw, dia berkata; "Rambut Rasulullah saw  tidak lurus dan tidak pula keriting yaitu (menjuntai) antara kedua telinga hingga bahu beliau." (HR.Bukhari : 5454, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ كَيْفَ كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ شَعَرًا رَجِلًا لَيْسَ بِالْجَعْدِ وَلَا السَّبْطِ بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَعَاتِقِهِ.(رواه  مسلم :    4311 - صحيح  مسلم – المكتبة الشاملة)
Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farrukh; telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim; telah menceritakan kepada kami Qatadah dia berkata; Aku bertanya kepada Anas bin Malik bagaimana keadaan rambut Rasulullah saw,? Dia menjawab; Beliau berambut ikal, tidak lurus dan tidak pula terlalu keriting, panjang rambutnya sampai antara kedua telinganya dan bahunya. (HR. Muslim 4311,  Shahih  Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا. (رواه الترمذي : 1678 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة)
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Khasyram berkata, telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus, dari Hisyam, dari Al Hasan dari Abdullah bin Mughaffal ia berkata, "Rasulullah saw, melarang menyisir dan merapikan rambut kecuali sesekali." (HR.Tirmidzi : 1678, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

 حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ مَا كَانَ فِي رَأْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الشَّيْبِ إِلَّا شَعَرَاتٌ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ إِذَا هُوَ ادَّهَنَ وَارَاهُنَّ الدُّهْنُ. (رواه احمد : 19950 -  مسند احمد  – المكتبة الشاملة)  
Telah menceritakan kepada kami Bahz, telah mengabarkan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Simak, dari Jabir bin Samurah, ia berkata; "Tidaklah di kepala Rasulullah saw  terdapat uban kecuali hanya beberapa helai yaitu di ubun-ubun beliau, apabila di minyaki, maka minyaknya akan menutupi uban tersebut.  (HR.Ahmad : 19950, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
                   
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا سِمَاكٌ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ وَقِيلَ لَهُ أَكَانَ فِي رَأْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْبٌ قَالَ لَمْ يَكُنْ فِي رَأْسِهِ وَلَا فِي لِحْيَتِهِ إِلَّا شَعَرَاتٌ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ إِذَا دَهَنَهُنَّ وَارَاهُنَّ الدُّهْنُ. (رواه احمد :   20085 -  مسند احمد  – المكتبة الشاملة)  
 Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Simak bin Harb, dari Jabir bin Samurah, bahwa ia pernah ditanya, "Apakah ada uban di rambut Rasulullah saw,?" Jabir menjawab, "Tidak ada uban di rambut maupun jenggot Nabi saw, kecuali beberapa bagian saja yang apabila disemir maka ia tidak kelihatan." (HR.Ahmad : 20085, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah)


و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.(رواه  مسلم :  3925 - صحيح  مسلم – المكتبة الشاملة)
Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir; telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Wahb, dari Ibnu Juraij, dari Abu Az Zubair, dari Jabir bin 'Abdillah ia berkata; pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah dibawa ke hadapan Rasulullah saw,  dengan rambut dan jenggotnya yang memutih seperti pohon Tsaghamah (pohon yang daun dan buahnya putih). Maka Rasulullah saw   bersabda: "Celuplah (rambut dan jenggot Anda) selain dengan warna hitam." (HR. Muslim 3925,  Shahih  Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ قَالَ سَمِعْتُ الْأَجْلَحَ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيْلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَحْسَنِ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءَ وَالْكَتَمَ.(رواه احمد :    20374 -  مسند احمد  – المكتبة الشاملة)  
 Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris ia berkata, Aku mendengar Al 'Ajlah dari Ibnu Buraidah dari Abul Al Aswad Ad Dili dari Abu Dzar ia berkata, "Rasulullah saw,  bersabda: "Sesungguhnya yang paling baik untuk kalian gunakan mewarnai uban adalah Al Hanna' (pacar) dan katm (inai).”  (HR.Ahmad : 20374, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Kamis, 26 September 2013

ِALLAH, ARRAHMAAN DAN ARRAHIIM



  "Allah" «الله»
Pemakaian kata "Allah" «الله»  
Kata  «الله»  "Allah" hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kemahasempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang lain.  Kata  «الله» “Allah” menurut ‘Ulama’ Kufah berasal dari kata  (إِلاَهٌ)  “Ilaahun” lalu kepadanya dimasukkan huruf ( ا ) Alif  dan  ( ل ) Lam, menjadi  (الإِلاَهُ) “Al-Ilaahu” , lalu hamzahnya dibuang karena diapandang berat mengucakannya,  lalu menjadi “Al-Laahu” (ال-لاَهُ) , karena  berkumpul dua huruf  ( ل ) Lam, maka huruf  ( ل ) Lam yang pertama dilebur kepada huruf  ( ل ) Lam yang kedua, sehingga menjadi«الله»  “Allah”  -  Menurut ‘Ulama’ Bashrah, kata  «الله» “Allah”  berasal dari kata  (لاَهٌ)  “laahun”, lalu diberi huruf ( ا ) Alif  dan huruf ( ل ) Lam, sehingga menjadi «الله»  “Allah”.[1] - Sedangkan menurut imam Al-Khalil, imam Sibawaih dan  kebanyakan ulama Ushuliyyin dan Fuqaha’,   kata “Allah” «الله» adalah sebuah nama yang tidak terbentuk dari kata lain, melainkan kata asal, atau dikenal dengan ism jamid”        (اِسْم جَامِد),[2]  yaitu nama milik Allah, yang tidak boleh digunakan sebagai nama untuk selain-Nya, karena nama ini khusus untuk-Nya. Oleh karena itu, Lafazh “Allah” «الله» dinamakan dengan “lafzhul Jalalah” لَفظ الجَلاَلَة)), yaitu lafazh bagi yang memiliki keagungan melebihi yang lain-Nya.[3] Sesuai dengan keagungan-Nya, lafazh “Allah” «الله»  mempunyai keistimewaan yang tidak ditemukan dalam nama-nama-Nya yang lain, yaitu apabila  lafazh tersebut dikurangi salah satu hurufnya, maka huruf sisanya tetap mempunyai arti “Allah” «الله»  - Kita perhatikan  contoh pengurangan huruf dari Lafazh “Allah” «الله» berikut ini :
1.       Apabila huruf “Alif dari Lafazh “Allah”«الله»  dibuang, maka ia akan menjadi “Lillaah” «لله» yang artinya “kepunyaan Allah” seperti yang terdapat dalam ayat berikut :
وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (الفتح : 4 )
Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Fath : 4)
 وَلِلَّهِ خَزَائِنُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَفْقَهُونَ (المنافقون : 7 )
Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. (QS.Al-Munafiquun : 7)
2.      Apabila huruf “Lam” dari lafazh “Lillaah” «لله» dibuang, maka ia akan menjadi “Lahuu” «له» yang artinya “kepunyaan-Nya”, seperti yang terdapat dalam ayat berikut :
  لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ.... (الزمر : 63)
Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. (QS.Az-Zumar : 63)
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ (التغابن : 1)
Kepunyaan-Nyalah  semua kerajaan dan kepunyaan-Nya (pula) segala puji.  (QS.At-Taghaabun : 1)
3.      Apabila huruf “Lam” dari lafazh “Lahuu” «له» dibuang, maka ia akan menjadi “huwa” «هـو» (huruf (و) Wau dalam kata “huwa” adalah huruf tambahan). [4]  - “huwa” «هـو»   artinya “Dia”, seperti yang terdapat dalam ayat berikut :
قُلْ هُوَ الله أَحَدٌ  (الإخلاص : 1 )
Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (QS.Al-Ikhlash : 1) 
هُوَ الحى لاَ إله إِلاَّ هُوَ  (غافر : 65)
Dialah Yang hidup, tiada Tuhan melainkan Dia (QS.Ghafir : 65)
Apabila kita mengucapkan Lafazh “Allah” «الله» maka berarti kita menyebut nama zat yang memiliki semua sifat-sifat kemahasempurnaan, mencakup semua sifat-sifat utama yang dimiliki-Nya; berbeda apabila kita menyebut lafazh “Rahman atau Rahiim”, berarti kita hanya menyebut salah satu dari sifat-sifat-Nya, yaitu “Pengasih dan  Penyayang”. Demikianlah kehebatan Lafazh “Allah” «الله» dibandingkan dengan lafzh lainnya yang terdapat dalam Asma’ul Husna.  
"Allah" «الله» adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendiri-Nya (wajibul wujud),  yang Maha Pencipta, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala sesuatu. Firman Allah :
وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ. (الروم : 27)
Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Ar-Ruum : 27)
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ - لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (الأنعام : 102 – 103)
Demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS.Al-An’am : 102-103)
Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata kita.  Ketika Nabi Musa as, meminta  untuk dapat melihat-Nya, maka Dia-pun berfirman kepadanya : Whai Musa, kamu tidak akan dapat melihat-Ku, kecuali kamu nanti  telah mati.[5] Dan Nabi Musa as di dunia ini ternyata tidak mampu melihat-Nya. Perhatikan firman Allah :
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ (الأعراف: 143)
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: `Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau`. Tuhan berfirman: `Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku`. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa-pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: `Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman`.(QS.Al-A’raaf : 143)
Ar-Rahman Dan Ar-Rahiim
Kata "Ar-Rahman" terambil dari "Ar-Rahmah" yang berarti "belas kasihan", yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi kata "Ar-Rahman" itu ialah: Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak.  Kata "Ar-Rahim" juga terambil dari الرَّحْمة)) "Ar-Rahmah", dan arti "Rahim" ialah: Orang yang mempunyai sifat belas kasihan, dan sifat itu "tetap" padanya selama-lamanya. Maka Ar-Rahman Ar-Rahim (Arrahmanirrahim) itu maksudnya: Tuhan itu telah memberi nikmat yang banyak dengan murah-Nya dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia adalah bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya, dan oleh karena sifat belas kasihan itu adalah suatu sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah itu tidak ada putus-putusnya. Dengan demikian maka kata-kata "Ar-Rahman" dan "Ar-Rahim" itu kedua-duanya adalah diperlukan dalam susunan ini, karena masing-masing mempunyai arti yang khusus. Tegasnya bila orang Arab mendengar orang mensifati Allah dengan Ar-Rahman, maka dapat dipahami bahwa Allah itu telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya dengan banyak dan berlimpah-limpah.  Limpahan nikmat dan karunia yang banyak, tetap dan tidak putus-putus itu,  tidak dapat dipahami dari lafaz Ar-Rahman itu saja, tetapi  perlu diikuti dengan Ar-Rahim, supaya orang mengambil pengertian bahwa limpahan nikmat dan karunia serta kemurahan Allah itu tidak ada putus-putusnya.
 Perbedaan antara Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim :
1.       Menurut Ibnu Abbas, bahwa Ar-Rahman mempunyai makna yang lebih dahsyat, lebih hebat dan lebih umum dibandingkan dari makna Ar-Rahiim.
2.      Menurut Abu Abdillah, bahwa Ar-Rahmaan adalah kata nama yang khusus untuk Allah, tidak dapat digunakan untuk yang lain, namun bersifat umum; maksudnya adalah rahmat-Nya yang sangat luas di dunia yang fana ini  diberikan kepada orang yang beriman dan juga  kepada orang kafir.  Sedangkan Ar-Rahiim adalah kata nama yang dapat digunakan untuk selain Allah, namun bersifat khusus; maksudnya adalah rahmat-Nya di akhirat nanti akan diberikan hanya kepada orang  yang beriman.[6]  
Rasulullah saw, bersabda :

 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الرَّحْمَةَ يَوْمَ خَلَقَهَا مِائَةَ رَحْمَةٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً وَأَرْسَلَ فِي خَلْقِهِ كُلِّهِمْ رَحْمَةً وَاحِدَةً فَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الرَّحْمَةِ لَمْ يَيْئَسْ مِنْ الْجَنَّةِ وَلَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الْعَذَابِ لَمْ يَأْمَنْ مِنْ النَّارِ. (رواه البخاري : 5988– صحيح البخاري - المكتبة الشاملة – باب الرجاء مع الخوف– الجزء :  20 – صفحة :   106)
 Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman dari 'Amru bin Abu 'Amru dari Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah ra,  dia berkata; saya mendengar Rasulullah saw  bersabda: "Sesungguhnya Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) seratus bagian, maka dipeganglah di sisi-Nya sembilan puluh sembilan bagian dan diturunkannya satu bagian untuk seluruh makhluk-Nya, sekiranya orang-orang kafir mengetahui setiap rahmat (kasih sayang) yang ada di sisi Allah, niscaya mereka tidak akan berputus asa untuk memperoleh surga, dan sekiranya orang-orang mukmin mengetahui setiap siksa yang ada di sisi Allah, maka ia tidak akan merasa aman dari neraka." (HR.Bukhari : 5988, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ar-Raja ma’al khauf,   juz : 20, hal. 106)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه  مسلم : 4944 - صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب  في سعة رحمة الله – الجزء :  13 – صفحة :  311)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Numair, telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik, dari 'Atha, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw  beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat. Dari seratus rahmat tersebut, hanya satu yang di turunkan Allah kepada jin, manusia, hewan jinak dan buas. Dengan rahmat tersebut mereka saling mengasihi dan menyayangi, dan dengan rahmat itu pula binatang buas dapat menyayangi anaknya. Adapun Sembilan puluh sembilan rahmat Allah yang lain, maka hal itu ditangguhkan Allah. Karena Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang shalih pada hari kiamat kelak." (HR.Muslim  : 4944, Shahih Muslim Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Fii saa’ati rahmati Allah,   juz : 13, hal. 311)
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي قَابُوسَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ. (رواه الترمذي : 1847- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء في رحمة الناس – الجزء : 7 – صفحة : 161)
 Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr bin Dinar, dari Abu Qabus, dari Abdullah bin Amr ia berkata : Rasulullah saw  bersabda : "Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar Rahman, berkasih sayanglah kepada siapapun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan mengasihi kalian. Lafazh Ar Rahim (rahim atau kasih sayang) itu diambil dari lafazh Ar Rahman, maka barang siapa yang menyambung tali silaturrahmi niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barang siapa yang memutus tali silaturrahmi maka Allah akan memutusnya (dari rahmat-Nya)." (HR.Tirmidzi : 1847, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii rahmatin Naas, juz : 7, hal. 161)



[1]. Al-Fahrurrazi, Tafsir Ar-Razi, Al-Maktbah Asy-Syamilah, bab 7, juz 1, Op Cit, hal. 148
[2]. ISIM JAMID(اِسْم جَامِد)  yaitu Isim yang tidak terbentuk dari kata lain, tetapi kata asli, sedangkan ISIM MUSYTAQ   (اِسْم مُشْتَق)   yaitu Isim yang dibent uk dari kata lain 
[3]. Al-Fahrurrazi, Tafsir Ar-Razi, Al-Maktbah Asy-Syamilah, bab 7, juz 1, Op Cit, hal. 142
[4]. Huruf Wau dalam lafazh “huwa” «هـو» adalah huruf   « زائده» “huruf tambahan”,  ia dibuang ketika dalam bentuk ganda, menjadi  «هـما» dan ketika jamak menjadi   «هـم»  .
[5]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 102, juz : 3, hal.311  
[6]. Al-Furuuq Al-Lughawiyyah, Al-Maktabah Asy-syamilah, juz : 1, hal. 250 - 252