Kamis, 16 Mei 2013

MA'DAN DAN RIKAZ



  ZAKAT MA’DIN (BARANG TAMBANG)
Ma’din adalah bahasa Arab yang terambil dari kata : ‘Adana – Ya’dunu – ‘Adnan  (عَدَنَ – يَعْدُنُ – عَدْنًا)  yang artinya :  “Menetap pada suatau tempat”.  Misalnya dalam firman Allah : Jannaatu ‘adnin (جَنَّاتُ عَدْنٍ), artinya adalah surga-surga ‘Adn. Disebut ‘Adnin karena ia adalah tempat menetap yang kekal abadi. Adapun yang dimaksud dengan Ma’din disini adalah “barang tambang. Hadits Nabi :       
قال أحمد : قد روي عن عبد العزيز بن محمد عن ربيعة عن الحارث بن بلال بن الحارث المزني عن أبيه : أَنَّ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم أَخَذَ مِنَ الْمَعَادِنِ الْقَبَلِيَّةِ الصَّدَقَةَ. (رواه البيهقي : 2519 – معرفة السنن والآثر للبيهقي – المكتبة الشاملة – باب فرض الابل السائمة -الجزء : 7– صفحة :  30)
Ahmad berkata : Sungguh telah diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Muhammad, dari Rabi’ah, dari Al-Harits bin Bilal bin Al-Harits Al-Muzanni, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw  mengambil (memungut) zakat dari hasil tambang di negeri  Qabaliyyah. (HR. Bajhaqi : 2519, Ma’rifatus sunan wal–atsar Lil-Baihaqi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab fardlul ibil Assaimah, juz : 7, hal. 30)
Beda Pendapat Tentang Barang Tambang
1.      Mazhab imam Ahmad, bahwa barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah semua hasil bumi yang berharga, seperti emas, perak, besi, tembaga, timah, permata yaqud, zabarjad, piruz, intan, berlian, ‘aqiq, batu bara, granit, aspal, minyak bumi, garam dan barang tambang lainnya. Disyaratkan telah mencapai nishab (senilai emas 85 gram).
2.      Mazhab imam Abu Hanifah, bahwa barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah semua barang yang dapat dicetak dan dilebur dengan api, seperti emas, perak, tembaga dan besi. Tidak disyaratkan mencapai nishab, seberapa-pun yang didapatkan, wajib dikeluarkan  zakatnya.
3.      Mazhab imam Syafi’i berpendapat, bahwa yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya emas dan perak saja. Disyaratkan telah mencapai nishab.[1]
Beda Pendapat Tentang Besar Zakat  
1.      Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa zakat barang tambang itu sebesar 1/5 (20%). Beliau menyamakan barang tambang dengan barang yang terpendam.  Tidak disyaratkan mencapai satu tahun (haul).
2.      Imam Ahmad, Malik, Syafi’I dan Ishaq berpendapat, besar zakat yang wajib  dikeluarkan 2,5% berdasarkan kepada zakat uang.  Disyaratkan mencapai satu tahun (haul).[2]
ZAKAT  RIKAZ (HARTA TERPENDAM)
Rikaz diambil dari kata “Rakaza – Yarkuzu”  (رَكَزَ – يَرْكُزُ)artinya : “Tersembunyi”. Kata ini antara lain terdapat dalam Al-Qur’an, seperti :  “Au tasma’u lahum rikza” (أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا) artinya : “Atau kamu mendengar suara tersembunyi (bisikan mereka) (QS.Maryam : 98). Adapun yang dimaksud disini ialah harta terpendam dari masa Jahiliyah.[3]  Rikaz menurut beberapa pakar, antara lain : 
1.      Imam Malik berkata : Aku telah mendengar dari para pakar, bahwa harta rikaz hanyalah harta terpendam pada masa jahiliyah yang diperoleh tanpa membutuhkan biaya dan tanpa susah payah. Adapun yang diperoleh dengan menggunakan biaya dan membutuhkan usaha yang susah payah, yang mungkin  gagal atau mungkin  pula berhasil, maka tidaklah dinamakan harta rikaz.
2.      Imam Abu Hanifah berkata : Rikaz adalah nama atau sebutan bagi sesuatu (harta) yang disembunyikan oleh Allah Yang Maha pencipta atau oleh makhluk.[4]
Hadits Nabi :
 حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ. (رواه مالك : 520 – موطأ مالك – المكتبة الشاملة – باب زكاة الركاز – الجزء : 2 – صفحة : 257)
Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa'id bin Musayyab, dan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw  bersabda : "Zakat pada harta terpendam (harta karun) adalah seperlima." (HR.Malik : 520, Muwaththa’ Malik, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab zakatir rikazi, juz : 2, hal. 257)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعَجْمَاءُ جُبَارٌ وَالْبِئْرُ جُبَارٌ وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ. (رواه البخاري : 1403– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب فى الركاز الخمس – الجزء : 5 – صفحة : 361)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa'id bin Al-Musayab, dan dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, dari Abu Hurairah ra; bahwa Rasulullah saw  bersabda : "Binatang gembalaan yang mencelakai tidaklah dapat dituntut belanya (dendanya), begitu juga menggali sumur dan mencelakai, tidaklah dapat dituntut belanya (dendanya) dan menggali barang tambang dan mencelakai, tidaklah dapat dituntut belanya (dendanya). Sedangkan harta terpendam (bila ditemukan seseorang) zakatnya seperlima". (HR.Bukhari : 1403, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Firrikazi Al-Khumusu, juz : 5, hal. 361)
Berdasakan hadits di atas, maka zakat harta rikaz yang harus dikeluarkan  adalah seperlima atau 20% dari jumlah harta yang ditemukan. Harta rikaz tidak disyaratkan sampai satu tahun (haul). Oleh karenanya, apabila ditemukan harta rikaz, maka pada waktu itu juga langsung dikeluarkan zakatnya. Adapun nishabnya, ‘ulama’ berbeda pendapat, yaitu :
1.      Mazhab Syafii : Harta rikaz disyaratkan mencapai nishab,     yaitu sama dengan nishab emas dan perak.  
2.      Mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali : Harta rikaz tidak ada nisabnya. Jadi, berapapun besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya.[5]  
Apabila harta rikaz ditemukan dari tanah yang tidak dipunyai orang (tanah tanpa tuan), maka harta itu menjadi milik orang yang mendapatkannya, dan ia wajib membayar zakatnya. Tetapi apabila ditemukan dari tanah yang dipunyai orang, maka perlu ditanyakan kepada semua orang yang telah memiliki tanah itu. Kalau tidak ada yang mengakuinya, maka harta rikaz itu menjadi milik yang membuka tanah itu.[6]


[1]. Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 372 - 273
[2]. http://civitas-akademis.blogspot.com/2011/08/zakat-barang-tambang-zakat-hasil-laut.html
[3]. Sayyid Sabiq, Op Cit,  hal. 372
[4]. Ibid, hal. 372
[5]. Sulaiman Rasyid, H, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, cetakan ke 32, Bandung hal. 206 - 207
[6]. Ibid, hal. 207

Kamis, 02 Mei 2013

ZAKAT PROFESI ATAU PENGHASILAN



ZAKAT PROFESI ATAU PENGHASILAN
Kajian mengenai zakat profesi atau penghasilan merupakan kajian baru yang muncul seiring dengan perkembangan sistem perekonomian masyarakat. Baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada nash yang secara spesifik menjelaskan tentang zakat profesi ini, tidak seperti zakat pertanian, peternakan dan perdagangan. Mengenai zakat profesi ini, yang ada hanyalah isyarat yang terkandung dalam beberapa ayat ataupun hadits, antara lain :  
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ.... الآية  
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.(QS. Al-Baqarah [2]: 267)
Imam Abu Hanifah telah mengambil dalil dari umumnya ayat tersebut, bahwa semua yang tumbuh dari bumi sampai sayuran-pun adalah wajib dizakati, sebagaimana juga wajib dizakati adalah semua harta  yang diperoleh dengan jalan yang halal, seperti penghasilan dari menyewakan bangunan, mobil serta gaji dan upah, setelah mencapai nishab dan haul. Jadi, tidak terbatas pada harta yang terkandung atau disebutkan dalam hadits.  Menurut  tiga imam lainya (Malik, Syafi’i dan Hanbali), bahwa harta itu tidak wajib dizakati selain harta yang telah diatur dalam Al-Quran dan Sunnah, dan mereka membawa ayat tersebut kepada pengertian infak secara umum, yaitu sedekah sunnat.[1]
Kalimat  “hasil usahamu yang baik-baik” pada ayat tersebut dapat dipahami secara umum, yaitu mencakup semua penghasilah yang diperoleh dengan cara yang halal. Hal ini sejalan dengan makna umumnya sebuah hadits yang ditegaskan oleh Rasulullah saw  dalam salah satu sabdanya   : “Tunaikan zakat hartamu”  : 
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكِنْدِيُّ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ أَخْبَرَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِي سُلَيمُ بْنُ عَامِرٍ قَال سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ يَقُولُ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ. (رواه الترمذي :  559 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة- بَاب مَا ذُكِرَ فِي فَضْلِ الصَّلَاةِ-  الجزء: 3 – صفحة : 3)
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Abdurrahman Al-Kindi Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Khubab, telah mengabarkan kepada kami Mu'awiyah bin Shalih, telah meceritakan kepadaku Sulaim bin 'Amir, dia berkata : Saya mendengar Abu Umamah berkata : Saya telah mendengar khutbah Rasulullah saw  ketika haji wada', beliau bersabda : "Bertakwalah kepada Allah Tuhanmu, kerjakanlah shalat lima waktu, berpuasalah di bulan Ramadlan, tunaikanlah zakat hartamu, dan taatilah pemimpinmu,  niscaya kamu  akan masuk surga  Tuhanmu.” (HR.Tirmidzi : 559, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Ay-Syamilah, bab maa dzukira fii fadhlish shalaati, juz:3, hal. 3)
Setiap muslim dituntut  untuk bersadaqah dan bagi yang tidak mampu diperintah bekerja agar mendapatkan rezeki dan dapat menolong orang-orang yang memerlukan bantuan. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ فَقَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ. (رواه البخاري : 1353 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ – الجزء :5 – صفحة : 275)
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Burdah, dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi saw,  bersabda : "Wajib bagi setiap muslim bershadaqah". Mereka (para sahabat) bertanya: "Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?". Beliau menjawab : "Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bershadaqah". Mereka bertanya lagi : "Bagaimana kalau tidak sanggup juga?". Beliau menjawab: "Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan". Mereka bertanya lagi : "Bagaimana kalau tidak sanggup juga?". Beliau menjawab : "Hendaklah dia berbuat kebaikan (ma'ruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti sedaqah baginya". (HR.Bukhari : 1353, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab ‘Alaa kulli muslin shadaqatun..., juz : 5, hal. 275)
Hadis Nabi saw di atas memberikan pelajaran bagi kita agar bekerja keras sehingga memperoleh rezki yang bermanfaat bagi diri sendiri, dan juga bagi orang lain dengan cara bersedakah baik sedekah wajib maupun sunnat.  Dan dari sinilah, lalu para ulama berpendapat bahwa penghasilan seseorang yang diperoleh dari profesi yang ditekuninya wajib dikeluarkan zakatnya, sama seperti penghasilan yang diperoleh dari pertanian, perkebunan, perdagangan. Secara umum penghasilan atau pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi, antara lain adalah pendapatan dari hasil kerja pada sebuah instansi, baik pemerintah, swasta, atau dari hasil kerja profesional pada bidang  yang mengandalkan keterampilan pribadinya, seperti : guru, dokter, pengacara, tukang cukur, artis, perancang busana, tukang jahit, presenter, musisi dan sebagainya. Hadits Nabi :
أَخْبَرَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ عَفَوْتُ عَنْ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ فَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ مِنْ كُلِّ مِائَتَيْنِ خَمْسَةً. (رواه النسائي : 2432 – سنن النسائي -المكتبة الشاملة- بَاب زَكَاةِ الْوَرِقِ- الجزء: 8 – صفحة :208)
Telah mengabarkan kepada kami Mahmud bin Ghailan, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari 'Ashim bin Dhamrah, dari 'Ali ra,  ia berkata; Rasulullah saw,  bersabda : "Sungguh aku telah membebaskan diri dari -kewajiban mengeluarkan sedekah- kuda dan budak, maka tunaikanlah zakat harta kalian dari setiap dua ratus (dirham) lima dirham." (HR.Nasai : 2432, Sunan Nasai, Al-Maktabah Ay-Syamilah, bab zakaail wariqi,  juz : 8, hal.208)
Seorang pekerja atau pegawai apabila telah memiliki kekayaan mencapai nishab  (setara dengan nilai 85 gram emas), maka ia wajib menunaikan zakat sebanyak 2,5%. Pada akhir masa haul harus menghitung sisa dari seluruh penghasilannya. Namun karena alasan kehati-hatian agar tidak lupa atau karena alasan lainnya, boleh mengeluarkan zakat penghasilannya pada saat menerima penghasilannya. Atau dengan kata lain, dia boleh mempercepat waktu pembayaran zakatnya, dengan membayar 2,5% dari saldo bulanan. Bila hal ini dilakukan, maka dia tidak perlu lagi membayarkan zakatnya pada akhir masa haul.





[1]. Kementerian Wakaf Mesir, Fatawa Al-Azhar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Taqdiruz zakati bil-Ma’aayiril haditsati, juz : 9, hal. 219