Rabu, 23 Januari 2013

BASMALAH DALAM AWAL SURAT



BASMALAH
Di dalam Al-Quran ada 114 surah, semuanya dimulai dengan "Basmalah", kecuali surat At-Taubah. Di samping pada  permulaan surat, "Basmalah" juga  disebutkan satu kali di pertengahan surah An-Naml, yaitu ayat  30. Dengan demikian, "Basmalah" di dalam Al-Quran didapati sebanyak 114 kali.  Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang sebab tidak dituliskan  Basmalah di awal surat Bara-ah (At-Taubah). Dalam  tafsir Al-Qurthuby disebutkan lima pendapat, [1] yaitu : 
1.   Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab zaman Jahiliyah apabila telah terjadi kesepakan dalam suatu perjanjian, dan mereka hendak membatalkan perjanjian itu, maka mereka menuliskan surat pembatalannya tanpa menuliskan  basmallah. Ketika surat Bara-ah turun sebagai pembatalan perjanjian antara Nabi saw dan orang-orang musyrik, maka beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan surat bara-ah, dan dia membacanya tanpa basmalah sebagai sikap menjalankan kebiasaan orang-orang Arab zaman itu dalam membatalkan perjanjian. 
2.   Terdapat kesamaan kisah (isi) antara  surat Bara-ah dan  surat Al-Anfal, sehingga surat Bara-ah  diyakini oleh Utsman bin Affan sebagai  bagian dari surat Al-Anfal, sehingga surat Bara-ah digandengkan dengan surat Al-Anfal tanpa dituliskan basmalah sebagai pemisah antara keduanya. Pendapat ini berdasarkan sebuah hadits :    
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ وَسَهْلُ بْنُ يُوسُفَ قَالُوا حَدَّثَنَا عَوْفُ بْنُ أَبِي جَمِيلَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ الْفَارِسِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ قُلْتُ لِعُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ مَا حَمَلَكُمْ أَنْ عَمَدْتُمْ إِلَى الْأَنْفَالِ وَهِيَ مِنْ الْمَثَانِي وَإِلَى بَرَاءَةٌ وَهِيَ مِنْ الْمِئِينَ فَقَرَنْتُمْ بَيْنَهُمَا وَلَمْ تَكْتُبُوا بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَوَضَعْتُمُوهَا فِي السَّبْعِ الطُّوَلِ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَلِكَ فَقَالَ عُثْمَانُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يَأْتِي عَلَيْهِ الزَّمَانُ وَهُوَ تَنْزِلُ عَلَيْهِ السُّوَرُ ذَوَاتُ الْعَدَدِ فَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الشَّيْءُ دَعَا بَعْضَ مَنْ كَانَ يَكْتُبُ فَيَقُولُ ضَعُوا هَؤُلَاءِ الْآيَاتِ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا وَإِذَا نَزَلَتْ عَلَيْهِ الْآيَةَ فَيَقُولُ ضَعُوا هَذِهِ الْآيَةَ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا وَكَانَتْ الْأَنْفَالُ مِنْ أَوَائِلِ مَا أُنْزِلَتْ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَتْ بَرَاءَةٌ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ وَكَانَتْ قِصَّتُهَا شَبِيهَةً بِقِصَّتِهَا فَظَنَنْتُ أَنَّهَا مِنْهَا فَقُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يُبَيِّنْ لَنَا أَنَّهَا مِنْهَا فَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَرَنْتُ بَيْنَهُمَا وَلَمْ أَكْتُبْ بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَوَضَعْتُهَا فِي السَّبْعِ الطُّوَلِ. (رواه الترمذي : 3011 – سنن الترمذي – الكتبة الشاملة -  بَاب وَمِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ – الجزء : 10 – صفحة : 352)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id, Muhammad bin Ja’far, Ibnu Abi ‘Ady dan Sahl bin Yusuf, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Auf bin Abi Jamilah, telah menceritakan kepada kami Yazid Al-farisy, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abbas, ia berkata kepada Utsman bin Affan : Apa yang mendorong kalian dengan sengaja menggolongkan  surat Al-Anfal kepada Al-Matsani (ayat yang dibaca berulang-ulang), menggolongkan surat Bara-ah (Taubah) kepada Al-Mi’iin (surat yang lebih dari seratus ayat), dan kalian telah menggandengkan keduanya tanpa ditulis Basmalah (sebagai pemisah), serta kalian meletakkan dua surat itu di deretan As-Sab’utthuwal (tujuh surat yang panjang), apa yang mendorong kalian melakukan demikian?. Utsman menjawab : Dulu Rasulullah saw terkadang memasuki suatu waktu yang diturunkan kepadanya sejumlah surat, karena itu, apabila diturunkan kepadanya suatu ayat, maka beliau memanggil orang yang bisa menulis, lalu bersabda :  Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begitu. Dan apabila turun satu ayat lagi kepadanya,  beliau bersabda : Letakkanlah ayat ini di surat yang di dalamnya disebutkan  begini dan  begitu.  Surat Al-Anfal adalah termasuk surat yang pertama kali diturunkan di Madinah; dan surat Bara-ah termasuk surat Al-Qur’an yang terakhir diturunkan, sedangkan kisah (isi) surat Bara-ah mirip dengan kisah (isi)  surat Al-Anfal, sehingga saya yakin bahwa surat Bara-ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. (Setelah itu) Rasulullah saw wafat, tetapi tidak menjelaskan kepada kami bahwa surat Bara-ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. Oleh karena itu saya yang menggandengkan surat Bara-ah dan surat Al-Anfal, dan saya tidak menulis : “BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM” sebagai pemisah di antara duanya, lalu saya meletakkannya di dalam deretan As-Sab’utthuwal (tujuh surat yang panjang). (HR.Tirmidzi : 3011, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab wamin suratit Taubah, juz : 10, hal. 352)
3.   Diriwayatkan dari Utsman. Malik mengatakan seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahab, Ibnu Al-Qasim dan Ibnu Abdil-Hakam, bahwa sesungguhnya telah terjadi penghapusan diawal surat bara-ah sehingga basmalahnya pun ikut terhapus bersamanya. Dari Ibn ‘Ajlaan, bahwa sesungguhnya surat bara-ah sebanding  atau berdekatan dengan surat Al-Baqarah, sehingga tidak dituliskan basmalah sebagai pemisah antara keduanya. Sa’id Bin Jubair berkata, bahwa surat bara-ah sama seperti surat Al-Baqarah.
4.   Kharijah, Abu ‘Ishmah dan lainnya berkata : Ketika dilakukan penulisan mushaf pada zaman kakhalifahan Utsman, terjadi perbedaan pendapat dikalangan para shahabat Rasulullah saw. Sebagian  menyatakan, bahwa antara surat Bara-ah dan surat Al-Anfaal adalah satu surat. Ada lagi yang beranggapan, bahwa keduanya adalah dua surat. Untuk mengambil jalan tengah dari dua pendapat tersebut, maka ditetapkan bahwa surah Bara-ah dan Al-Anfal adalah dua surah dengan tanpa menuliskan Basmallah di awal surat Bara-ah. Dua kelompok yang berbeda pendapat secara bersama-sama rela menerima jalan tengah ini, pendapat mereka tetap terlindungi dalam mushaf.
5.   Abdullah bin Abbas berkata : Saya pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : Mengapa basmalah tidak ditulis di permulaan surat Bara-ah?  Ali bin Abi Thalib  menjawab : "Basmalah adalah mengandung makna rasa aman dan damai; sedangkan surat Bara-ah turun dengan bayang-bayang pedang (peperangan), di dalamnya tidak ada rasa aman dan damai."[2] Dari Al-Mubarrad : “Tidak mungkin berkumpul antara Basmalah yang mengandung makna rahmah (kasih sayang), dengan surat Bara-ah yang diturunkan terkait dengan kejengkelan dan kemarahan”.  Sufyan bin Uyaynah berkata : “Basmalah tidak ditulis di permulaan surat Bara-ah karena Basmalah mengandung  makna rahmah (kasih sayang); sedangkan surat Bara-ah diturunkan sebagai kecaman terhadap orang-orang munafiq, dan dengan bayang-bayang pedang (peperangan),  dan tidak ada rasa aman dan damai bagi orang-orang munafik. Dan pendapat yang shahih, Basmalah tidak dituliskan dalam surat Bara-ah, karena memang malaikat Jibril tidak menyertakan Basmalah ketika surat tersebut diturunkan. Demikianlah menurut pendapat imam Al-Qusyairy.
BASMALAH DALAM  PERMULAAN SURAH
Para ulama telah sepakat bahwa Basmalah termasuk bagian dari ayat dalam surat An-Naml. Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang Basmalah yang terletak di awal semua surat. Dalam hal ini, Sayid Sabiq dalam Fiqhussunnah mengemukan tiga pendapat yang terkenal,[3] yaitu : 
1.   Basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah, dan juga bagian dari setiap surat  (dalam Al-Qur’an). Dengan demikian, membaca Basmalah dalam surat Al-Fatihah   adalah wajib hukumnya sebagaimana hukum membaca Al-Fatihah itu sendiri (di dalam ibadah shalat), baik ketika dibaca pelan (sirr) maupun keras (jahr). Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Nu'aim Al-Mujmir :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ عَنْ شُعَيْبٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} فَقَالَ آمِينَ فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا قَامَ مِنْ الْجُلُوسِ فِي الِاثْنَتَيْنِ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه النسائي : 895 – سنن النسائي – المكتبة الشاملة – باب قِرَاءَةُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ – الجزء :  3 – صفحة : 459)
Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim] dari [Syua’ib], telah menceritakan kepada kami [Khalid] dari [Sa’id bin Abi Hilal] dari [Nu’aim Al-Mujmir, ia berkata : Aku pernah  shalat dibelakang Abu Hurairah, kemudian dia membaca  “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim”, lalu membaca Ummul Qur’an (surat Al-Fatihah), hingga tetkala sampai pada “Ghairil Maghdluubi ‘Alaihim Waladl-Dlaalliin”, dia mengucapkan Aamiin, lalu orang-orang-pun mengucapkan Aamiin. Dan dia (Abu Hurairah) juga mengucapkan Allahu Akbar setiap  hendak sujud, dan ketika bangun dari duduk pada rakaat kedua (tahiyyat awal). Dan setelah selesai salam, dia berkata : Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menyerupai Rasulullah saw dalam shalat. (HR.An-Nasai : 895, Sunan An-Nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qiraa-ati Bismillaahir Rahmaanir Rahiim, juz : 3, hal. 459)    
2.    Basmalah merupakan suatu ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan untuk mengambil berkah dan pemisah di antara surat-surat, dan bahwa membacanya pada Al-Fatihah hukumnya boleh (mubah), bahkan sunat (mustahab), dan tidak disunatkan membacanya dengan keras (jahar). Hal ini berdasarkan hadits Anas :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَكَانُوا لَا يَجْهَرُونَ بْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. (رواه احمد :  12380 – مسند احمد -المكتبة الشاملة – باب مسند انس بن مالك - الجزء 25:– صفحة : 426)
Telah menceritakan kepada kami [Waki’], telah menceritakan kepada kami [Syu’bah], dari [Qatadah], dari [Anas], ia berkata : Saya pernah shalat di belakang Rasulullah saw, di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan mereka tidak membaca dengan suara keras (jahar) bacaan Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. (HR. Ahmad : 12380, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Musnad Anas bin Malik, juz : 25, hal. 426)
3.       Basmalah bukan merupakan suatu ayat dari Al-Fatihah atau dari surat lainnya, dan bahwa membacanya dimakruhkan baik secara sir maupun jahar, pada shalat fardhu ataupun sunat. Mazhab ini tidak kuat. [4]

Dalam  Tafsir Ibnu Katsir[5] dipaparkan pula perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang bacaan basmalah dalam shalat, apakah dibaca dengan suara keras (Jahar) ataukah dibaca dengan pelan (sir). 

1.   Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya berpendapat, bahwa "Basmalah" bukanlah satu ayat dari surah Al-Fatihah dan juga bukan  ayat dari surah yang lain. Sebab itu menurut mazhab Imam Abu Hanifah, Ats-Tsawry dan Ahmad bin Hanbal "Basmalah" itu tidak dikeraskan membacanya dalam shalat (dibaca dengan pelan/sir), bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali. 

2.   Imam Syafii, sebagian pengikutnya berpendapat, bahwa "Basmalah"  adalah satu ayat dari surah Al-Fatihah dan bukan  ayat dari surah yang lain. Dan sebagian pengikut lainnya  berpendapat, bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surah Al-Fatihah, dan satu ayat dari permulaan setiap surat lainnya. Sebab itu Menurut mazhab Imam Syafii "Basmalah" itu dibaca dengan suara keras (Jahar) dalam shalat. 

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat. Oleh karenanya, bagi golongan yang berpendapat bahwa basmalah bukan  ayat dari surat Al-Fatihah, maka mereka memandang :  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ  adalah satu ayat dari surat Al-Fatihah, dengan demikian ayat dalam surat tersebut  tetap berjumlah tujuh ayat.[6]


[1].  Syamsuddin Al-Qurthuby (1204 – 1273 M / 600 – 671 H), Tafsiir Al-Qurthuuby, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 8, juz : 8, hal : 61-63
[2]   - فحدثناه أبو بكر محمد بن عبد الله الجنيد، حدثنا محمد بن زكريا بن دينار، حدثنا يعقوب بن جعفر بن سليمان الهاشمي، حدثني أبي، عن أبيه، عن علي بن عبد الله بن عباس، قال : سمعت أبي يقول : سألت علي بن أبي طالب رضي الله عنه : لِمَ لَمْ تُكْتَبْ فِيْ بَراءة بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ؟ قال : لِأَنَّ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  أَمَانٌ وبراءة نُزِلَتْ بِالسَّيْفِ لَيْسَ فِيْهَا أَمَانٌ.(رواه الحاكم : 3231 – المستدرك على الصحيحين للحاكم– المكتبة الشاملة– باب تفسير سورة التوبة– الجزء : 7 –صفحة : 410)
Telah menceitakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Al-Junaid, telah meceritakan kepada kami Muhamma bin Zakaria bin Dinar, telah meceritakan kepada kami Ya’qub bin Ja’far bin Sulaiman Al-Hasyimy, telah meceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari ‘Ali bin Abdillah bin Abbas, ia berkata : Saya pernah mendengar ayahku berkata : Saya bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra : Mengapa dalam surat Bara-ah tidak ditulis BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM? Ali menjawab : (Dalam surat Bara-ah tidak ditulis basmalah) karena BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM adalah keamanan, sedangkan surat Bara-ah diturunkan  dengan  bayang-bayang pedang (perang) yang di dalamnya tidak terdapat keamanan. (HR.Hakim : 3231, Al-Mustadrak Alash-Shahihain Lil-Hakim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab tafsir surat At-Taubah, juz : 7, hal. 410)
[3] . Sayid Sabiq, Fiqhussunnah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal. 135 - 136
[4] . ibd,  hal. 135 - 136
[5] . Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir,  Op cit, Tafsir Ibnu Katsir, hal.117-118

MENGENAL SURAT AL-FATIHAH



Surat Al-Fatihah merupakan surat yang paling agung dalam Al-Qur’an. Untaian kalimatnya ringkas, hanya terdiri dari 7 ayat, 25 kata dan 113 huruf,[1] namun kandungan maknanya sangat luas. Jumlah 113 huruf memberikan informasi, bahwa sesudah surat Al-Fatihah terdapat 113 surat yang  makna kandungannya terhimpun di dalam surat Al-Fatihah. Seorang muslim yang taat menjalankan aturan Allah, ia membacanya setiap hari paling sedikit  tujuh belas kali yang dibaca di dalam shalatnya yang berjumlah tujuh belas rakaat yang wajib ditegakkan. Sejak kecil hingga detik ini tentu sudah beratus  atau beribu kali kita membacanya. Lalu terbersit sebuah pertanyaan : Sudahkah kita memahami mutiara indah yang terkandung di dalamnya,  sehingga dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk meraih ridha-Nya?  Semoga melalui tulisan ringkas di bawah ini bisa sedikit membantu menggapai tujuan mulia tersebut. Aamiin. 
Tempat Turun Surat Al-Fatihah
Para ‘ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan tempat turunnya Surat Al-Fatihah (Surat pembukaan). Dalam tafsir Ibnu Katsir karya Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Damisyqy (700-774 H) dipaparkan pendapat para pakar, yaitu :  Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan Abu Al-’Aliyah berpendapat bahwa Surat Al-Fatihah termasuk ayat Makkiyah, yaitu ayat yang diturunkan di Mekah. Menurut Abu Hurairah, Mujahid, ‘Atha’ bin Yasar dan Azzuhri termasuk ayat Madaniyyah, yaitu ayat yang diuturunkan di Madinah.  Menurut sebagian ulama’ diturunkan dua kali, yaitu satu kali di Mekah dan satu kali lagi di Madinah. Menurut Abu Al-Laits Assamarqandiy, separoh diturunkan di Mekah dan separoh lagi diuturunkan di Madinah.[2]  Sedangkan Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawiy (Wafat 515 H), menegaskan dalam kitab Tafsirnya, yaitu tafsir Al-Baghawi, bahwa  surat Al-Fatihah menurut pendapat kebanyakan ulama’ termasuk ayat Makkiyah,  dan inilah  pendapat yang paling shahih.[3]
Nama-Nama Surat Al-Fatihah
Surat Al-Fatihah memiliki banyak nama sesuai dengan keragaman kandungan yang ada di dalamnya serta keutamaan dan keistimewaannya, antara lain :
1.     فاتحة الكتاب(Faatihatul Kitab). Surat Al-Fatihah diberi nama  dengan Faatihatul Kitab (pembukaan Tulisan), karena mushaf Al-Qur`an dibuka dengan surat ini, dan surat ini pula yang dibaca sebagai pembukaan dalam shalat sebelum membaca surat-surat Al-Qur’an yang lain. [4]  Nama ini (Faatihatul Kitab) diabadikan dalam sabda Nabi saw sebagai berikut  :
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُنَادِيَ أَنَّهُ لَا صَلَاةَ إِلَّا بِقِرَاءَةِ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه  ابو داود : 697- سنن  ابو داود – المكتبة الشاملة - بَاب مَنْ تَرَكَ الْقِرَاءَةَ فِي صَلَاتِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ  - الجزء :  2 – صفحة :  480)
Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Basysyar], telah menceritakan kepada kami [Yahya], telah menceritakan kepada kami [Ja’far] dari [Abi Utsman] dari [Abu Hurairah], ia berkata : Rasulullah saw memerintahkan aku agar aku menyerukan bahwa tidak sah shalat seseorang kecuali membaca Fatihatul Kitab (maksudnya surat Al-Fatihah). (HR.Abu Dawud : 697, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab man tarakal qiraata fii shalaatihii bifatihatil kitaab, juz : 2, hal.480)
2.    الحمد لله (Al-Hamdu lillaah). Surat Al-Fatihah diberi  nama  dengan Al-Hamdu lillaah (Segala puji milik Allah), karena dalam surat ini terdapat kalimat Al-Hamdu lillaah. Nama ini (Al-Hamdu lillaah) diabadikan dalam sabda Nabi saw sebagai berikut  :
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَلِيٍّ الْحَنَفِيُّ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي (رواه الترمذي : 3049- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة -بَاب وَمِنْ سُورَةِ الْحِجْرِ- الجزء : 10 – صفحة : 396)
Telah mencriakan kepada kami [‘Abdun bin Humaid], telah mencriakan kepada kami [Abu ‘Ali Al-Hanafiy], dari [Ibnu Abu Di’b] dari [Al-Maqburiy] dari [Abu Hurairah], ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Al-Hamdu lillaah adalah Ummul-Qur’an, Ummul Kitab dan  As-sab’u Al-Matsaani. (HR.Tirmidzi : 3049, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab min suratil Hijr,  juz : 10, hal.396)
3.    ام القرآن (Ummul-Qur’an) dan ام الكتاب (Ummul Kitab). Surat Al-Fatihah diberi nama  dengan Ummul-Qur’an (Induk Al-Qur’an) dan  Ummul Kitab (Induk Al-Kitab), karena surat ini mencakup seluruh tujuan pokok dari Al-Qur`an, sehingga surat Al-Fatihah mempunyai kedudukan sebagai intisari atau esensi dari Al-Qur’an. Kata ام (ummun) secara harfiah berarti ibu, sumber, asal, dasar, landasan, intisari (esensi). Bila Al-Qur’an kita sebut sebagai ajaran, maka Al-Fatihah adalah intisarinya. Begitu juga bila kita menyebut Al-Qur’an sebagai wacana, maka Al-Fatihah adalah inti dari wacana itu. Sedangkan pengertian harfiah kata Al-Qur’an adalah bacaan dan Al-Kitab adalah tulisan atau literatur, mengacu kepada bentuk-bentuk bacaan, tulisan atau wacana secara umum.[5] Nama ini (Ummul-Qur’an dan Ummul Kitab)  diabadikan dalam hadits  Nabi saw di atas dan juga dalam hadits berikut ini :
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمُّ الْقُرْآنِ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ. (رواه البخاري : 4335 – صحيح البخاري - المكتبة الشاملة -بَاب قَوْلِهِ وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنْ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ - الجزء :14 – صفحة :303)
Telah menceritakan kepada kami [Adam], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Dzi’b], telah menceritakan kepada kami [Sa’id Al-Maqburiy] dari [Abu Hurairah ra], ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Ummul-Qur’an (Induk Al-Qur’an) adalah  As-sab’u Al-Matsaani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang) dan Al-Qur’anul ‘Adhim (Al-Qur’an yang agung). (HR. Bukhari : 4335, shahih Bukhari, Al-maktabah Asy-Syamilah, bab Qaulihii wa laqad aatainaa sab’an minal matsaanii wal-Qur’aanul adhiim, juz : 14, hal.303)
4.     السبع المثاني(As-sab'ul-Matsaani). Surat Al-Fatihah diberi nama dengan As-sab'ul-Matsaani karena surat ini tediri dari tujuh ayat yang selalu dibaca dalam shalat secara berulang-ulang. Setiap orang yang shalat akan selalu membacanya dalam setiap raka`at shalatnya. Jumlah ayatnya yang tujuh itu, rupanya mengacu pada makna yang banyak atau luas, yaitu sebanyak dan seluas cakupan wacana Al-Qur’an itu sendiri. Nama ini (As-sab'ul-Matsaani)  diabadikan dalam hadits  Nabi saw di atas dan  bahkan diabadikan juga dalam Al-Qur’an :
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu As-sab’u Al-Matsaani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang) dan Al-Qur’an yang agung. (Q.S. Al-Hijr : 87).
5.     القرآن العظيم(Al-Qur’nul-'azhiim). Surat Al-Fatihah diberi nama dengan Al-Qur’nul-'azhiim  (Al-Qur’an yang besar dan Agung) karena surat Al-Fatihah mewakili  seluruh  kandungan Al-Qur’an yang sangat besar, luas dan agung. Nama ini (Al-Qur’nul-'azhiim) diabadikan dalam hadits  Nabi saw dan juga dalam Al-Qur’an sebagaimana tersebut pada bagian sebelumnya.
6.    الصلاة (Ash-Shalaatu). Surat Al-Fatihah diberi nama dengan Ash-Shalaatu (shalat/do’a) karena Al-Fatihah merupakan bacaan wajib di dalam shalat. Nama ini (Ash-Shalaatu) diabadikan dalam sabda Nabi saw sebagai berikut  :
حَدَّثَنَاه إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. (رواه مسلم : 598 - صحيح مسلم- المكتبة الشاملة- بَاب وُجُوبِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ- الجزء : 2 – صفحة : 352)
Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali], telah mengabarkan kepada kami [Sufyan bin ‘Uyaynah] dari [Al-‘Ala’] dari ayahnya, dari [Abu Hurairah], dari Nabi saw, beliau bersabda :  Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka shalatnya masih mempunyai hutang, tidak sempurna” Tiga kali. Ditanyakan kepada Abu Hurairah, ” Kami berada di belakang imam?” Maka dia menjawab, “Bacalah Ummul Qur’an dalam dirimu, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda : ‘Allah berfirman : Aku membagi shalat (surat Al-Fatihah) antara Aku dengan hambaKu menjadi dua bagian, dan hambaku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata : Segala puji bagi Allah Tuhan  semesta alam. Maka Allah berfirman :  HambaKu memujiKu. Apabila hamba tersebut mengucapkan :  Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Maka Allah berfirman :  HambaKu memuji-Ku. Apabila hamba tersebut mengucapkan : Pemilik hari kiamat. Maka Allah berfirman :  HambaKu memujiku. Selanjutnya Dia berfirman : HambaKu menyerahkan urusannya kepada-Ku. Apabila hamba tersebut mengucapkan :  Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan. Maka Allah berfirman :  Ini adalah antara Aku dengan hambaKu. Dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila hamba tersebut mengucapkan : Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat. Maka Allah berfirman :  Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta. (HR. Muslim : 598, shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab wujuubi qiraa-atil fatihah fii kulli rakatin, juz : 2, hal. 352)
7.    الشفاء (Asy-Syifa). Surat Al-Fatihah diberi nama dengan Asy-Syifa (obat) karena surat ini adalah menjadi obat untuk segala penyakit. Nama ini (Asy-Syifa) diabadikan dalam sabda Nabi saw sebagai berikut  :
حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ. (رواه الدارمي : 3433 - سنن الدارمي -  المكتبة الشاملة- باب فَضْلِ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ - الجزء :  10 – صفحة :  257)
Telah menceritakan kepada kami [Qabishah], telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari [Abdul Malik bin ‘Umair], ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Fatihatul Kitab adalah obat (Syifa’) dari setiap penyakit. (HR.Ad-Darimi : 3433, Sunan Ad-Darimi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab fadhli faatihatil kitaab,  juz : 10, hal. 257)
8.    الرقية )Ar-Ruqyah). Surat Al-Fatihah diberi nama dengan Ar-Ruqyah karena surat ini adalah sebagai do’a.  Nama ini (Ar-Ruqyah) diabadikan dalam sabda Nabi saw sebagai berikut  :
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ قَال سَمِعْتُ أَبَا الْمُتَوَكِّلِ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِحَيٍّ مِنْ الْعَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ وَلَمْ يُضَيِّفُوهُمْ فَاشْتَكَى سَيِّدُهُمْ فَأَتَوْنَا فَقَالُوا هَلْ عِنْدَكُمْ دَوَاءٌ قُلْنَا نَعَمْ وَلَكِنْ لَمْ تَقْرُونَا وَلَمْ تُضَيِّفُونَا فَلَا نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَجَعَلُوا عَلَى ذَلِكَ قَطِيعًا مِنْ الْغَنَمِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلٌ مِنَّا يَقْرَأُ عَلَيْهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ فَلَمَّا أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ قَالَ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ وَلَمْ يَذْكُرْ نَهْيًا مِنْهُ وَقَالَ كُلُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ. (رواه الترمذي : 1990 - سنن الترمذي – المكتبة الشاملة - بَاب مَا جَاءَ فِي أَخْذِ الْأَجْرِ عَلَى التَّعْوِيذِ - الجزء :  7– صفحة :  395)
 Telah menceritakan kepada kami [Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsanna], telah menceritakan kepadaku [Abdush Shamad bin Abdul Warits], telah menceritakan kepada kami [Syu’bah], telah menceritakan kepada kami [Abu Bisyr], ia berkata : Aku mendengar Abu Al-Mutawakkil menceritakan dari [Abu Sa’id], bahwasanya sekelompok orang dari sahabat Nabi saw melewati suatu daerah di tanah Arab, namun mereka tidak menjamunya dan menerima sebagai tamu. Kemudian pemimpin daerah tersebut terkena sakit, sehingga mereka mendatangi kami seraya berkata : Apakah kalian mempunyai obat? Kami menjawab : Ya. Akan tetapi kalian tidak memberikan jamuan untuk kami dan tidak pula menerima kami layaknya seorang tamu. Kami tidak akan memberikanny hingga kalian memberikan jamuan untuk kami. Lalu mereka pun memberikan jamuan sepotong daging kambing. Dan salah seorang dari kami membacakan surat Al-Fatihah dan pemimpin mereka – pun sembuh seketika. Setelah kami menemui Nabi saw, kami pun menuturkan hal itu, lalu beliau bersabda : Siapa yang memberitahu kalian bahwa itu adalah Ruqyah? Saat itu beliau tidak menyebutkan kalimat larangan. Dan beliau bersabda : Makanlah daging itu dan berikanlah satu bagian untukku. (HR. Tirmidzi : 1990, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii akhdzil ajri ‘alat ta’widz, juz : 7, hal. 395)
9.    الواقية Al-Waqiyah. Surat Al-Fatihah diberi nama oleh Sufyan bin ‘Uyainah dengan Al-Wqfiyah (pemeliharaan atau perlindungan), karena memelihara semua kandungan Al-Qur’an.
10.  الكنز Al-Kanz. Surat Al-Fatihah diberi nama oleh Zamakhsyariy dengan Al-Kanz (tempat menyimpan yang tebal), karena surat ini tempat menyimpan semua kandungan Al-Qur’an. 
11.  الكافية Al-Kafiyah (mencakupi). Surat Al-Fatihah diberi nama oleh Yahya bin Katsir dengan Al-Kafiyah, karena surat ini mencakupi seluruh kandungan Al-Qur’an.   
12.  أساس القرآن Asasul Qur’an. Surat Al-Fatihah diberi nama oleh Ibnu Abbas dengan Asasul Qur’an (dasar, sendi, pokok Al-Qur’an), karena surat ini merupakan dasar, sendi dan pokok dari semua kandungan Al-Qur’an.  [6]


[1]. Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Damisyqy (700-774 H),Tafsir Ibnu Katsir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 3, tahun 1999 M /1420 H, bab 1, juz 1, hal.102
[2].  Ibid, hal.101
[3]. Muhyissunnah Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi (Wafat 515 H), Tafsir Al-Baghawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke -4, tahun 1997 M – 1417 H,  bab 1, juz 1, hal.49.
[4].  Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Aamaliy Abu Ja’far Ath-Thabariy (224 – 310 H), Tafsir Ath-Thabariy,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 1, tahun 2000 M/1420 H, bab Alqawl fii ta’wiili asmaai faatihatil kitab, juz : 1, hal. 107)
[5]. Dapat dibaca pula dalam kitab tafsir Ath-Thabariy,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 1, tahun 2000 M/1420 H, bab Alqawl fii ta’wiili asmaai faatihatil kitab, juz : 1, hal. 107)

[6]. Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir,  Op cit, Tafsir Ibnu Katsir, hal.101