Kamis, 24 Mei 2012

BAGAIKAN PENDAKI GUNUNG
Sumber kesuksesan lebih banyak berasal dari dalam dirinya sendiri. Apabila dalam dirinya terdapat pondasi yang kokoh, maka faktor-faktor yang datang dari luar, betapa-pun dahsyatnya, akan mampu disikapi dan dikelola dengan baik. Dan salah satu pondasi yang mesti dipancangkan dalam diri seseorang yang ingin maraih sukses  adalah 'sifat rendah hati'.  Seseorang  yang memiliki sifat rendah hati bagaikan pendaki gunung,  tubuhnya condong ke depan dan pandangan matanya menunduk ke bawah, sehingga dengan mudah pendakian dapat dilakukan. Semakin curam jalan yang didaki, tubuh sang pendaki akan semakin menunduk, bahkan mungkin merayap. Dan ketika meraih sukses  mencapai  puncak gunung, disana akan diterpa hembusan angin yang kencang dan bertambah kencang. Dan agar ia mampu bertahan terhadap terpaan angin yang begitu kencang itu, maka ia mesti berjalan sambil membungkuk. Semakin anginnya berhembus kencang, berarti badan  harus semakin membungkuk. Sungguh sangat tidak mungkin seorang pendaki gunung dapat meraih sukses, ketika datang terpaan angin kencang, lalu ia berjalan sambil membusungkan dada, menegakkan badan, mengangkatkan pandangannya ke arah langit.
Dalam perjuangan meraih sukses, sikap rendah hati merupakan salah satu faktor terpenting yang harus kita miliki. Ketika sikap rendah hati sudah mewarnai kehidupan kita,  baik dalam tutur kata maupun sikap dan perbuatan, maka berarti kita telah siap menerima berbagai macam hal  baru yang datang kepada kita. Termasuk kesiapan menerima berbagai macam ilmu yang baru kita kenal, sehingga kita telah siap menghadapi perubahan zaman yang selalu tumbuh dinamis. Dengan demikian kita akan lebih cepat dapat memahami kondisi lingkungan, sehingga lebih mudah untuk beradaptasi dimana kita menginjakkan kaki. Dan msyarakat-pun akan lebih gampang dan lapang menerima kedatangan kita.
Ketika sikap rendah hati telah kita memiliki, berarti kita telah memiliki salah satu faktor yang dapat menggiring kita kepada kesuksesaan yang bernuansa ketakwaan. Dan ketakwaan itulah yang berperan sebagai filter yang dapat menyaring antara yang halal dan haram, baik dan buruk, manfaat dan madarat, sehingga sukses yang kita raih tetap berada dalam naungan rido Allah. Dan ketika kita ingin mencapai derajat sebagai insan yang bertakwa, maka rendah hati merupakan syarat pertama yang mesti dimiliki. Karena ia merupakan puncak dari akhlak seorang mukmin. Ia tidak mungkin diraihnya hanya dengan ilmu, tetapi harus dipesandingkan dengan iman yang mesti diikuti dengan amal  perbuatan.[1]  Ia  harus dimiliki dalam setiap kondisi, tingkatan dan  kedudukan, dimanapun kita berada.
Ketika kita ingin menjadi seorang yang hebat (manusia super), maka rendah hati juga yang harus disandangnya. Karena ia memiliki pandangan hidup yang berazaskan manfaat. Rasulullah saw, memberikan informasi kepada kita, bahwa manusia super (khairunnas) adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lainnya.[2] Dalam bahasa mitaforis, manusia super bagaikan sebiji benih tanaman padi yang dibenamkan dalam tanah. Lalu tumbuh bersemi, dedaunan hijau yang menyejukkan pandangan mata bergerak dengan pasti dalam posisi tegak lurus ke atas. Waktu demi waktu terus berjalan, bulir-bulir mulai berisi, tidak lagi tegak lurus ke atas, tetapi mulai merunduk, dan terus merunduk ke bawah, yang pada akhirnya memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Janji Allah pasti, dan salah satu janji-Nya adalah akan mengangkat derajat orang yang bersikap rendah hati ke tinggkat yang lebih tinggi. [3]  
Sementara terdapat dugaan dari orang yang merasa dirinya tergolong cerdik panadai, bahwa rendah hati itu merupakan sifat yang merugikan, karena dapat membentuk pribadi yang lemah lembut dan kasih sayang. Hal ini dipandang sebagai sikap yang akan mudah dipermainkan orang lain. Dugaan tersebut sungguh amat keliru. Justeru sebaliknya, yaitu : "Sesorang yang rendah hati, berarti kesuksesan telah menunggunya". Dia akan mendapatkan pertolongan langsng dari Allah; harkat, martabat dan kedudukannya akan dinaikkan ke posisi yang tertinggi.[4] Dan kebenaran  janji Allah yang pasti itu akan disikapi dengan mantapnya iman, yaitu : “Semua keberhasilan hanya datang dari Allah". Sikap ini membuat, ia lebih mampu mengenal diri dan menerima kelebihan serta kekurangannya secara lebih jernih. Ia dapat melihat orang lain dengan mata hati yang bersih, objektif serta terbuka. Ia tidak akan mengedepankan  ego dan ambisinya. Ia tidak akan mudah terhempas karena ada tekanan dari orang lain. Di sini dapatlah dikatakan bahwa rendah hati  merupakan kunci mewujudkan kesuksesan plus dalam hidup, yaitu sukses dunia dan akhirat.
Dapat ditemukan pula dampak positif yang luar biasa dari sikap rendah hati, yaitu hilangnya kesombongan dan kezaliman.[5] Untuk itulah  Allah swt memerintahkan agar kita senantiasa bersikap rendah hati, sehingga tidak terdapat korban yang direndahkan karena kesombongan, dan tidak ada penderitaan karena kezaliman.[6] Kesombongan adalah sumber kehancuran yang mesti kita singkirkan dari diri kita, karena ia merupakan penyakit hati yang amat barbahaya. Ia akan menjauhkan kita dari sahabat sejati. Ia akan menciptakan permusuhan. Ia akan menghilangkan sekian banyak relasi. Ia hanya berfungsi sebagai perisai untuk menutupi kekurangan, kelemahan, dan ketidakmampuannya menghadapi masalah yang datang, sehingga tidak ada keterbukaan dan tidak ada kesiapan mental untuk menerima berbagai macam hal baru yang datang dari luar dirinya,  dan pada akhirnya beku, buntu dan tidak berkembang.
Apabila kita telah mempunyai perasaan mempunyai berbagai kelebihan tertentu dibandingkan orang lain, lalu membuat kita merasa paling mulia, paling  pantas untuk dihormati dan dihargai dari pada orang lain, maka mulai saat itulah kita sedang mengidap penyakit hati yang amat berbahaya, yaitu "sombong".  Rasulullah saw,  mengingatkan kita melalui sabdabya :  "Barang siapa bersikap rendah hati karena Allah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya. Ia merasa dirinya kecil kurang berarti, akan tetapi di mata masyarakat dipandang sebagai orang yang mulia dan terhormat. Dan barang siapa yang bersikap sombong, niscaya Allah menghinakannya, sehingga masyarakat memandangnya sebagai orang yang hina, walaupun ia merasa sebagai orang besar".[7]
Seseorang dapat dengan mudah terjangkit penyakit sombong, antara lain karena adanya  penilaian yang keliru akan kemuliaan manusia. Seseorang dipandang mulia atau terhormat karena memiliki harta yang melimpah dan jabatan yang lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya, walaupun dia jauh dari aturan Allah. Orang yangg hidup dalam kondisi seperti ini akan mudah terjangkit penyakit sombong dengan merendahkan dan meremehkan orang lain. Sebab lain adalah kebiasaan suka membanding-bandingkan nikmat yang diperolehnya dengan yang diperoleh orang lain, tanpa ingat kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah. Ketika ia bercakap-cakap dengan sahabatnya, ia katakan : Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat dari pengikutmu, dan seterusnya, sehingga tertangkap kesan bahwa dirinya "serba paling" dibandingkan orang lain.[8] Adakalanya yang memicu munculnya kesombongan adalah karena lebih unggul dari pada yang lain dalam banyak didang, seperti ilmunya  lebih tinggi, hartanya lebih banyak, dan seterusnya. Keunggulan-keunggulan semata tidak ada artinya di hadapan Allah bila tidak disertai dengan sikap rendah hati. Bahkan sebagai pengantar munculnya kehancuran dan kegagalan. Rasullullah saw telah mengingatkan kita : Tidak masuk surga orang yg di dalam hatinya terdapat seberat zarrah dari kesombongan.[9] Allah mengingatkan kita : "Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung."[10]
Salah satu cara memupuk sikap rendah hati dan menghilangkan kesombongan adalah menumbuh suburkan rasa senang duduk-duduk bersama kaum dhu'afa' (orang-orang lemah), bahkan suka makan dan minum bersama mereka. Suka merenungkan  semua nikmat Allah dari yang  paling kecil hingga yang paling besar, termasuk dirinya dan alam semesta, sehingga menjadi seorang yang pandai bersyukur. Lalu ia bersungguh-sungguh dalam mentaati aturan Allah, karena  ketaatan yang dilakukan semata-mata mencari ridha Allah, akan dapat membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati, bahkan akan meningkat ke derajat yang lebih tinggi. Semua itu adalah anugerah Allah. Dia yang kuasa untuk memberi dan Dia pula yang kuasa mencabutnya.
Seorang yang rendah hati digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya : "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung kedamaian,  dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka, dan orang-orang yang berkata : "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman, dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.[11] "SELAMAT MERAIH SUKSES BERSAMA SIKAP RENDAH HATI, DAN SELAMAT TINGGAL KESOMBONGAN"


[1] - يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Mujaadilah : 11)
[2] - عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : وَ خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ. (رواه الطبراني – المعجم الأوسط للطبراني – المكتبة الشاملة – باب الميم من اسمه محمد- الجزء : 13- صفحة : 27))
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah aw berabda : Dan sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. (HR.Thabrani, Al-Mu'jam Al-Awsath Lith-Thabrani, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Mim Min Ismuhu Muhammad, juz : 13, hal. 27)
[3] - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه مسلم-4689- صحيح مسلم- المكتبة الشاملة - بَاب اسْتِحْبَابِ الْعَفْوِ وَالتَّوَاضُعِ – الجزء-12- صفحة :473)
 Dari Abu Hurairah, diterima dari Rasulullah saw, beliau bersabda : sedekah itu tidaklah mengurangi harta, Allah tidak menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang hamba bersikap rendah hati (tawadhu‘) kecuali Allah pasti mengangkat (derajatnya). (HR Muslim : 4689, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Istihbab Li’afwin Wat-Tawadhu’i, juz 12, hal.474)
[4] - عَنْ أَوْسِ بْنِ خَوْلِيٍّ أنه دخل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا أوس : مَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ. (رواه ابو نعيم : 914 - معرفة الصحابة لأبي نعيم الأصبهاني- المكتبة الشاملة - باب من اسمه أوس- الجزء : 3- صفحة :  160)
Dari Aus bin Khawly, bahwasanya ia datang kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda : WahaiAus! : Barangsiapa yang rendah hati karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat)-nya; da barangsiapa yang sombong, maka Allah akan menjatuhkan (derajat)nya. (HR Abu Nu‘aim : 914, Ma'rifatush-Shahabah Liabi Nu'am Al-Ashbahani, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Man ismuh Aus, juz 3, hal.160)
 -[5]عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ دَرَجَةً رَفَعَهُ اللهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي عِلِّيِّينَ وَمَنْ تَكَبَّرَ عَلَى اللهِ دَرَجَةً وَضَعَهُ اللهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي أَسْفَلِ السَّافِلِينَ.(رواه احمد : 11299 -باب مسند أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - المكتبة الشاملة – الجزء : 23- صفحة : 344
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang rendah hati karena Allah satu derajat, maka Allah mengangkatnya satu derajat pula hingga ia ditempatkan pada tempat yang setinggi-tingginya. Dan barangsiapa yang sombong kepada Allah satu derajat, maka Allah menjatuhkannya satu derajat pula, hingga ia ditempatkan pada tempat yang serendah rendahnya. (HR.Ahmad : 11299, Bab Musnad Abu Sa’id Al-Khudry, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 23, hal.344)
[6] - عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ ذَاتَ يَوْمٍ وَ قَالَ : إِنَّ اللهَ أَوْحَى ِإلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.(رواه مسلم- 5109 - صحيح مسلم- المكتبة الشاملة -بَاب الصِّفَاتِ الَّتِي يُعْرَفُ بِهَا فِي الدُّنْيَا أَهْلُ الْجَنَّةِ وَأَهْلُ النَّارِ – الجزء- 14- صفحة : 24)
Dari Qatadah, bahwasanya pada suatu hari Rasulullah saw berkhutbah, beliau bersabda  : Sesungguhnya Allah swt telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak seorang pun menyombongkan diri kepada yang lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada yang lainnya. (HR Muslim : 5109, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babush-Shifatillatii yu'rafu fiddunya alul-Jannati wa ahlun-Naar, juz 14, hal.24)
[7] - عن عابس بن ربيعة  قال : قال عمر وهو على المنبر : أيها الناس تواضعوا فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من تواضع لله رفعه الله ، فهو في نفسه صغير وفي أعين الناس عظيم - ومن تكبر وضعه الله ، فهو في أعين الناس صغير  وفي نفسه كبير، حتى لهو أهون عليهم من كلب أو خنزير.(رواه البيهقي : 7917 –شعب الإيمان للبيهقي –المكتبة الشاملة- فصل فى التواضع- الجزء : 17- صفحة : 182)
Dari 'Abis bin Rabi'ah, ia berkata : Umar menyampaikan khutbah di atas mimbar : Wahai manusia, bersikap rendah hatilah kalian, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw, bersabda :  Barang siapa bersikap rendah hati karena Allah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya. Ia merasa dirinya kecil kurang berarti, akan tetapi di mata masyarakat sebagai orang yang mulia dan terhormat. Dan barang siapa yang bersikap sombong, niscaya Allah menghinakannya, sehingga masyarakat memandangnya sebagai orang hina, walaupun ia merasa sebagai orang besar, sampai-sampai di mata masyarakat ia lebih hina dibanding anjing atau babi. (HR. Baihaqi : 7917, Syu'abul Iman Kik-Baihaqi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Fashl Fittawadgu', juz : 17, hal. 182)
[8]. Lihat Al-Qur'an surat Al-Kahfi ayat 34
[9] - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. (رواه مسلم- 133- صحيح مسلم- المكتبة الشاملة -بَاب تَحْرِيمِ الْكِبْرِ وَبَيَانِهِ- الجزء- 1 - صفحة : 249)
Dari Abdullah, diterima dari Nabi saw, beliau beraabda : Tidak masuk surga orang yg di dalam hatinya terdapat seberat zarrah dari kesombongan. (HR Muslim : 133, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Tahrimil Kibri wa bayanih, juz 1, hal. 249)
[10]. Lihat Al-Qur'an surat Al-Isra' ayat 37
[11]. Lihat Al-Qur'an surat Al-Furqan ayat 63-67

Jumat, 18 Mei 2012


Shalat Jamak
Kata “Jamak”  menurut bahasa berarti “mengumpulkan atau menggabungkan”. Jadi, yang dimaksud dengan shalat jamak ialah mengumpulkan atau menggabungkan dua shalat fardhu dikerjakan dalam satu waktu. Contohnya adalah shalat dzuhur dan ashar dikerjakan di waktu dzuhur atau di waktu ashar, shalat maghrib dan ‘isya dikerjakan di waktu maghrib atau di waktu ‘isya. Shalat shubuh tetap dikerjakan pada waktunya, tidak boleh dikerjakan di waktu shalat yang lain. Shalat ashar tidak boleh digabungkan di waktu shalat maghrib atau sebaliknya.  Dalil tentang shalat jamak adalah hadits Nabi : 
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا قُرَّةُ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاةِ فِي سَفْرَةٍ سَافَرَهَا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ. قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ مَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ. (رواه مسلم : 1148- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ- الجزء : 4- صفحة : 7)
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Habib Al-Haritsy], telah menceritakan kepada kami [Khalid] yaitu [Ibnul Harits], telah menceritakan kepada kami [Qurrah], telah menceritakan kepada kami [Abuz Zubair], telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin Jubair], telah menceritakan kepada kami [Ibnu ‘Abbas], bahwa Rasulullah saw menjamak shalat di perjalanan yang beliau lakukan dalam perang Tabuk. Beliau menjamak shalat zhuhur dan ‘ashar, shalat maghrib dan ‘isya’. Sa’id berkata : Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas : Apakah yang mendorong Rasulullah saw mengerjakan hal itu. Ibnu ‘Abbas menjawab : Beliau saw berkehendak supaya tidak memberatkan  umatnya. (HR.Muslim : 1148, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain fil Hadhar, juz : 4, hal. 7)
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ أَخْبَرَهُمْ أَنَّهُمْ خَرَجُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فَأَخَّرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا.(رواه ابو داود : 1020 – سنن ابو داود- المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ- الجزء : 3 – صفحة :  445)
Telah menceritakan kepada kami [Al-Qa’naby] dari [Malik] dari [Abiz Zuybair Al-makki] dari [Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah], bahwasanya [Mu’adz bin Jabal] mengabarkan kepada mereka, bahwasanya mereka keluar bersama Rasululllah saw dalam perang Tabuk. Beliau menjamak shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan ‘isya. Kemudian pada suatu hari beliau mengakhirkan shalat, lalu pergi, kemudian mengerjakan shalat zhuhur dan ashar semuanya dengan jamak, kemudian beliau masuk (ke kemah), kemudian beliau keluar mengerjakan shalat maghrib dan ‘isya semuanya dengan jamak. (HR.  Abu Dawud : 1020, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain, juz : 3, hal. 445)
Pembagian Shalat Jamak
Berdasarkan hadits di atas, shalat jamak terbagi menjadi  dua bagian,  yaitu jamak Taqdim dan Jamak Ta’khir dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Jamak Taqdim, yakni menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu yang dikerjakan pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, mengerjakan shalat dzuhur dengan ashar pada waktu dzuhur; mengerjakan shalat maghrib dengan  isya pada waktu maghrib.
2. Jamak Ta’khir, yaitu mengerjakan dua shalat fardhu pada satu waktu dan dikerjakn pada waktu yang kedua. Misalnya, mengerjakan shalat dzuhur dengan  ‘ashar pada waktu ashar; mengerjakan shalat maghrib dengan  ‘isya pada waktu shalat ‘isya.
Syarat Shalat Jamak
Syarat shalat jamak yang harus dipenuhi untuk shalat jamak taqdim ada tiga hal[1]  sebagai berikut :
1.   Hendaklah memulai shalat dengan shalat yang pertama, yaitu mengerjakan shalat dzuhur sebelum shalat ‘ashar, dan mengerjakan shalat maghrib sebelum shalat ‘isya, karena waktu yang ada adalah milik shalat yang pertama, dan  shalat yang kedua adalah pengikut, sedangkan sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului yang diikuti. Oleh karenanya, apabila shalat yang kedua di dahulukan, maka tidak sah shalatnya, dan wajib mengulanginya setelah shalat  yang pertama.
2.   Hendaklah niat shalat jamak pada waktu shalat yang pertama, yaitu ketika takbiratul ihram, atau di tengah-tengah shalat yang pertama, menurut qaul yang azhhar. Jadi, tidak boleh niat jamak setelah salam shalat yang pertama.
3.   Berturut-turut atau beriringan antara shalat yang pertama dan shalat yang kedua, sebab shalat yang kedua itu mengikuti, sedangkan segala sesuatu yang mengikuti tidak boleh terpisah dari yang diikuti.
Adapun jamak ta’khir tidak disyaratkan adanya tertib antara dua shalat, tidak disyaratkan pula berniat jamak ketika shalat, tetapi niat jamak dilakukan pada waktu shalat yang pertama, dan tidak disyaratkan pula beriringan/berturut-turut. [2]
 Sebab-Sebab Yang Membolehkan Shalat Jamak
Shalat jamak dapat dilakukan apabila terdapat salah satu dari sebab-sebab  sebagai berikut :
1.    Shalat Jamak Sebab Safar  (Bepergian)
Menjamak shalat dalam safar (bepergian) hukumnya mubah (boleh), baik di waktu dalam perjalanan atau sewaktu berhenti. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي حُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عِكْرِمَةَ وَعَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَلَا أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ؟ قَالَ قُلْنَا بَلَى قَالَ كَانَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ فِي مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ يَرْكَبَ وَإِذَا لَمْ تَزِغْ لَهُ فِي مَنْزِلِهِ سَارَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعَصْرُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِذَا حَانَتْ الْمَغْرِبُ فِي مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ وَإِذَا لَمْ تَحِنْ فِي مَنْزِلِهِ رَكِبَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعِشَاءُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا.(رواه احمد : 3300– مسند  احمد- المكتبة الشاملة - بَاب بداية مسند عبد الله بن العباس- الجزء : 7– صفحة :  333)
Telah menceritakan kepada kami [Abdur Razaaq], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Juraij], ia berkata : Telah memngabarkan kepada kami [Husain bin Abdullah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas] dari [‘Ikrimah] dari [Kuraib], bahwasanya [Ibnu ‘Abbas] berkata : Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang shalat Rasulullah saw ketika dalam perjalanan? Ia berkata : Kami menjawab : Tentu kami mau. Ia berkata : Apabila matahari telah tergelincir ketika beliau masih di rumahnya, maka beliau menjamak shalat zhuhur dan ‘ashar sebelum menaiki kendaraannya (sebelum berangkat). Dan apabila matahari belum tergelincir ketika masih di rumahnya, maka beliau berangkat, hingga bila datang waktu ‘ashar, maka beliau berhenti (singgah) lalu menjamak shalat zhuhur dan ‘ashar. Dan apabila masuk waktu maghrib ketika beliau masih di rumahnya, maka beliau menjamak shalat maghrib dan ‘isya. Dan apabila belum masuk wktu maghrib ketika beliau masih di rumahnya, maka beliau menaiki kendaraannya (berangkat) hingga apabila waktu ‘isya telah masuk, maka beiau berhenti (singgah) lalu menjamak shalat maghrib dan ‘isya. (HR. Ahmad : 3300, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Bidayah Musnad Abdullah bin ‘Abbas, juz : 7, hal. 333)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ سَارَ وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبَ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الْعِشَاءَ فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ. (رواه ابو داود : 1031 – سنن ابو داود- المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ- الجزء : 3 – صفحة : 456)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah mengabarkan kepada kami [Al-Laits] dari [Zaid bin Abi Habib] dari [Ath-Thufail, ‘Amir bin Watsilah] dari  [Mu’adz bin jabal], bahwasanya Nabi saw dalam perang Tabuk,[3] apabila beliau berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dzuhur hingga beliau kumpulkan ke ‘ashar, beliau shalat untuk keduanya (dzuhur dan ashar di waktu ashar) semuanya, dan apabila beliau berangkat sesudah tergelincir matahari, beliau kerjakan shalat dzuhur dan ‘ashar (di waktu dzuhur) semuanya,  kemudian beliau berjalan (pergi). Apabila beliau berangkat sebelum (masuk waktu) maghrib, beliau ta’khirkan maghrib hingga beliau lakukan shalat maghrib beserta ‘isya, dan apabila beliau berangkat sesudah masuk waktu maghrib, beliau segerakan shalat ‘isya, dan beliau shalatkan ‘isya dengan shalat maghrib. (HR.  Abu Dawud : 1031, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain, juz : 3, hal. 456)
2.    Shalat Jamak Sebab Ada Keperluan
Dalam syarah Shahih Muslim imam Nawawi berkata : Beberapa imam membolehkan shalat jamak bagi orang yang tidak bepergian (bukan musafir), bila ada suatu keperluan, asalkan tidak dijadikan suatu kebiasaan. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari golongan pengikut imam Malik. Dan demikian pula menurut Al-Khaththabi dari Al-Qaffal dan Asy-Syasyi Al-Kabir dari golongan pengikut imam Syafi’i. Dan juga dari Ishaq Al-Marwazi dari jama’ah ahli hadits. Dan inilah yang dipilh oleh imam Ibnul Mundzir. Hal ini dikuatkan oleh zahirnya perkataan Ibnu ‘Abbas, bahwa jamak itu dimaksudkan agar tidak menyulitkan umat. Jadi tidak dijelaskan apakah karena sakit atau sebab-sebab lainnya.[4] Hadits Ibnu ‘Abbas yang dimaksud adalah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ وَاللَّفْظُ لِأَبِي كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ كِلَاهُمَا عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ. فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ - وَفِي حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ قِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ. (رواه مسلم : 1151- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ- الجزء : 4- صفحة :  10)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Abu Kuraib], mereka berdua berkata :  Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] dan [Abu Sa’id Al-Asyajj]. Dan lafz hadits milik Abu Kuraib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Waki’], keduanya dari [Al-A’masy], dari [Habib bin Abi Tsabit], dari [Sa’id bin Jubair], dari [Ibnu ‘Abbas], ia berkata : Rasulullah saw pernak menjamak shalat zhuhur dan ‘ashar, shalat maghrib dan ‘isya di Madinah, bukan karena ketakutan dan bukan pula karena hujan. Dalam hadiots Waki’ katanya, aku tanyakan kepada Ibnu ‘Abbas : Mengapa beliau lakukan hal itu? Ibnu ‘Abbas menjawab : Agar supaya tidak memberatkan  umatnya. Dan dalam hadits Abu Mu’awiyah ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas : Kenapa belioau saw berbuat itu? Ibnu Abbas menjawab : Beliau saw berkehendak  supaya tidak memberatkan  umatnya. (HR.Muslim : 1151, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain fil Hadhar, juz : 4, hal. 10)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ وَعَوْنُ بْنُ سَلَّامٍ جَمِيعًا عَنْ زُهَيْرٍ قَالَ ابْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَر. قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. (رواه مسلم : 1147- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ- الجزء : 4- صفحة :  6)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus] dan[ ‘Aun bin Salim], semuanya dari [Zuhari], berkatalah [Yunus] : Telah menceritakan kepada kami [Zuhair], telah menceritakan kepada kami [Abuz Zubair], dari [Sa’id bin Jubair] dari [Ibnu ‘Abbas] berkata : Rasulullah saw shalat zhuhur dan ‘ashar sekaligus (jamak) di Madinah bukah karena khauf (ketakutan) dan bukan pula karena safar (bepergian). Abuz Zubair berkata : Aku bertanya kepada Sa’id : Mengapa Rasulullahsaw melakukan hal itu? Dia menjawab : Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas seperti yang engkau tanyakan kepadaku, lalu dia menjawab : Beliau saw berkehendak supaya tidak memberatkan (menyulitkan) seseorangpun dari umatnya. (HR.Muslim : 1146, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain fil Hadhar, juz : 4, hal. 5)
3.    Shalat Jamak Sebab Hujan
Rasulullah saw pernah menjamak shalat ketika terjadi hujan lebat, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari berikut ini :
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ فَقَالَ أَيُّوبُ لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ قَالَ عَسَى.(رواه البخاري : 510 – صحيح البخاري-  المكتبة الشاملة -بَاب تَأْخِيرِ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ- الجزء : 2- صفحة : 374)
Telah menceritakan kepadakami [Abu Nu’man], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Hammad], yaitu [Ibnu Zaid] dari [‘Amr bin Dinar] dari [Jabir bin Zaid] dari [Ibnu ‘Abbas], bahwasanya Nabi saw pernah mengerjakan shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat, yaitu shalat zhuhur dan ‘ashar, shalat maghrib dan ‘isya. Ayyub berkata : Barangkali hal tersebut terjadi pada malam itu hujan. Ibnu ‘Abbas berkata : Bisa jadi. (HR.Bukhari : 510, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab ta’khirizh zhuhri ilal ‘ashri, , juz : 2, hal. 374)
Terdapat Beda Pendapat
1.    Mazhab Syafi’i membolehkan seorang yang muqim menjamak shalat zhuhur dengan ‘ashar dan maghrib dengan ‘isya secara taqdim saja, dengan syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul Ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
2.    Mazhab Maliki membolehkan menjamak taqdim antara maghrib dengan ‘isya disebabkan adanya hujan yang telah atau akan turun; juga dibolehkan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat gelap. Sedangkan menjamak shalat zhuhur dengan ‘ashar karena hujan dimakruhkan.
3.    Mazhab Hanbali membolehkan menjamak shalat maghrib dengan ‘isya saja, baik secara taqdim atau ta’khir, disebabkan adanya salju, lumpur, dingin yang sangat serta hujan yang membasahi pakaian. Keringanan ini hanya berlaku bagi orang yang biasa mengerjakan shalat berjama’ah di mesjid dan datang dari tempat yang jauh.[5]
4.     Shalat Jamak Sebab Sakit Atau ‘Udzur
1.    Imam Ahmad, Qadhi Husein, Al-Khaththabi dan Al-Mutawalli dari golongan mazhab Syafi’i membolehkan menjamak, baik taqdim  atau ta’khir disebabkan sakit, dengan alasan : Kesukaran di waktu sakit lebih berat dari kesukaran di waktu hujan. Imam Nawawi berkata : Dari segi alasan, pendapat ini adalah kuat.
2.    Golongan mazhab imam Hanbali memperluas ruang lingkup sebab-sebab bolehnya menjamak shalat, yaitu karena berbagai macam halangan, seperti orang yang sedang menyusui bila terdapat kesulitan untuk mencuci pakaiannya ketika hendak shalat, wanita yang sedang istihadhah, orang yang kencing terus, khawatir akan ada bahaya bagi dirinya, harta dan kehormatannya.
3.    Ibnu Taimiyah berkata : Mazhab yang paling luas dalam masalah shalat jamak adalah mazhab imam Ahmad, sebab ia membolehkan menjamak bagi  seseorang yang sedang sibuk bekerja, juru masak atau pembuat roti dan orang-orang lainnya yang takut hartanya menjadi rusak.[6]

Qamat Satu Kali
Dalam shalat jamak hanya dilakukan satu kali qamat sebagaiman yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim :
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ صَلَّى الْمَغْرِبَ ثَلَاثًا وَالْعِشَاءَ رَكْعَتَيْنِ بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ. (رواه مسلم : 2268- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - بَاب الإفاضة من عرفات الى المزدلفة - الجزء : 6- صفحة : 404)
Telah menceritakan kepada kami [‘Abd bin Humaid], telah mengabarkan kepada kami [Abdurrazzaq], telah mengabarkan kepada kami [Atstsauri] dari [Salamah bin Kuhail] dari [Sa’id bin Jubair] dari [Ibnu ‘Umar], ia berkata : Rasululullah saw menggabungkan  antara shalat maghrib dan ‘isya dengan shalat jamak. Beliau kerjakan shalat maghrib tiga rakaat , dan ‘isya dua rakaat dengan satu kali qamat. (HR.Muslim : 2268, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babu Al-Ifadhah min ‘araffatin ilaa mudzdalifah,  juz : 6, hal. 404)
Jamak Dan Qashar
Seseorang boleh menjamak shalat sekaligus mengqasharnya apabila syarat-syaratnya terpenuhi seperti yang terdapat pada bahasan terdahulu. Hadits Nabi :
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ لَيْسَ بَيْنَهُمَا سَجْدَةٌ وَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ وَصَلَّى الْعِشَاءَ رَكْعَتَيْنِ. (رواه مسلم : 2266- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - بَاب الإفاضة من عرفات الى المزدلفة - الجزء : 6- صفحة :402)
Telah menceritakan kepadaku [Harmalah bin Yahya], telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Wahab], telah mengabarkan kepadaku [Yunus] dari [Ibnu Syihab], bahwa [‘Ubaidillah bin Abdillah bin Umar] mengabarkan kepadanya, bahwa ayahnya berkata : Rasululullah saw menggabungkan  antara shalat maghrib dan ‘isya dengan shalat jamak, diantara keduanya tidak ada sujud (shalat sunat). Beliau kerjakan shalat maghrib tiga rakaat, dan ‘isya dua rakaat. (HR.Muslim : 2266, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babu Al-Ifadhah min ‘araffatin ilaa mudzdalifah,  juz : 6, hal. 402)





[1].Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz : 1, Darul Ilmi, Surabaya Indonesia, hal. 117,-  
[2]. Ibid, hal. 117,-  
[3]. Perang Tabuk terjadi pada tahun kesembilan Hijriyah. (Lihat dalam kitahb Fiqhussunnah oleh Sayid sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz :  1, hal. 290)  
[4]. Syarah An-Nawawi ‘alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Jam’u bainash shalataini fil-Hadlar, juz : 3, hal : 17
[5]. Sayid sabiq, Fiqhussunnah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz :  1, hal. 290-291
[6]. Ibid, hal. 291