Sabtu, 20 Agustus 2011

DIALOG TENTANG CIRI ORANG YANG BERTAUBAT

Rasulullah saw bertanya kpd para sahabatnya :

اتدرون من التائب؟

Tahukah kamu siapakah orang yang bertaubat itu?

قلنا : الله ورسوله اعلم – قال رسول الله :

kami menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Rasul bersabda :

من تاب ولم يتعلم العلمَ فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tdk mencari ilmu, bukanlah disebut orang yg bertaubat


ومن تاب ولم يزد فى العبادة فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tidak bertambah tekun beribadah, bukanlah disebut orang yg bertaubat

ومن تاب ولم يرضى الخصماء فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tidak membuat senang seterunya, bukanlah disebut orang yg bertaubat

ومن تاب ولم يغير لباسه وزينته فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tidak mengganti pakaian dan perhiasannya, bukanlah disebut orang yg bertaubat

ومن تاب ولم يُبَدِّلْ اصحابه فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tdk mengganti sahabatnya, bukanlah disebut orang yg bertaubat

ومن تاب ولم يُغَيِّرْ خُلُقَهُ فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tdk merubah akhlaknya, bukanlah disebut orang yg bertaubat

ومن تاب ولم يَطْوِ فراشَه فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tdk mau menggulung tempat tidurnya, bukanlah disebut orang yg bertaubat

ومن تاب ولم يتصدق بفضل ما في يده فليس بتائب

Siapa yg bertaubat, sedang ia tdk suka bersedekah dg kelebihan yang ada di tangannya, bukanlah disebut orang yg bertaubat

فاذا استبان من العبد هذه الخصال فهو تائب حقا

Maka apabila telah nyata hal-hal tersebut, maka itulah ahli taubat yang sebenarnya
.

KEUTAMAAN ILMU DIBANDINGKAN DENGAN HARTA

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu memberikan menasehat tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta :

العِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، العِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، العِلْمُ يَزْكُو عَلَى العَمَلِ وَالْمَالُ تُنْقِصُهُ النَّفَقَةُ، وَمَحَبَّةُ العَالِمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، العِلْمُ يُكْسِبُ العَالِمَ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَصَنِيْعَةُ الْمَالِ تَزُوْلُ بِزَوَالِهِ، مَاتَ خُزَّانُ اْلأَمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي القُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ. (حلية الأولياء – الكتبة الشاملة- باب على بن ابي طالب – الجزء : 1 – صفحة : 42)

Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sementara harta harus engkau jaga, ilmu akan terus bertambah dan berkembang dengan diamalkan sementara harta akan terkurangi dengan penggunaan, dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang dipegangi, ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya, sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia masih hidup, sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati manusia.” ( Hilyatul awliya', Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 'Ali bin Abi Thalib, juz : 1, hal.42).

Rabu, 17 Agustus 2011

AYAT MUTASYABIHAT DAN MUHKAMAA


Firman Allah :

هُوَ الَّذِي أَنزلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang MUHKAMAAt, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) MUTASYAABIHAAT. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.-QS.Ali-'Imran : 7

Ayat yang MUHKAMAAT ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.

Ayat-Ayat Mutasyaabihaat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

MAKNA AYAT-AYAT "MUTASYAABIHAAT"

Makna ayat-ayat "mutasyaabihaat" yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al-Quran adalah sebagai berikut :

1- Dalam tafsir Al-Qur'an DEDAG : YAA SIIN- ALIF LAAM MIIN- ALIF LAAM RAA- ALIF LAAM MIIM SHAAD dan seterusnya : adalah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al-Quran, diantara Ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat "MUTASYAABIHAAT", dan ada pula yang menafsirkannya. Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al-Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al-Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad saw, semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.

2- Dalam tafsir Jalain, YAA SIIN dijelaskan :

يــس : الله أعلم بمراده به .

YAA SIIN hanya Allah yang mengetahui maksudnya.

3- Dalam tafsir Al-Fakhrurrazi YAA SIN:

يــس : إنه كلام هو نداء معناه يَا إِنْـسَان

YAA SIIN adalah sebuah kalimat panggilan, yang artinya : Wahai Manusia!

4- Dalam tafsir Al-Bahrul Muhith, YAA SIIN adalah :

قال ابن جبير هنا : إنه اسم من أسماء محمد صلى الله عليه وسلم ، ودليله إنك لمن المرسلين

Ibnu Jubair berkata : YAA SIIN adalah salah satu nama dari nama-nama Nabi Muhammad saw, dasarnya adalah ayat berikutnya yang artinya : "Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul".

Selasa, 16 Agustus 2011

ADAKAH ISTILAH SHALAT IFTITAH?

Sebelum melaksanakan shalat berjama'ah tarawih, di beberapa masjid di Indonesia, imam mengajak jama'ah untuk melakukan “SHALAT IFTITAH”, yaitu shalat dua rakaat pendek sebelum pelaksanaan shalat tarawih.

Adakah tuntunan shalat iftitah tersebut? Selama ini penulis belum pernah menemukan istilah “SHALAT IFTITAh”, baik dalam kitab hadis maupun kitab fiqh. Yang ada adalah “DOA IFTITAH”. Nampaknya penggunaan istilah shalat iftitah, merupakan kreasi sebagian muslim Indonesia, sehingga muncul istilah baru tersebut.

Menurut pengamatan penulis, pelaksanaan shalat Tarawih biasanya dilakukan setelah selesai shalat ‘Isya’, lalu dilaksanakan shalat sunnah Rawatib Ba’diyah 'Isya', kemudian dilanjutkan dengan shalat tarawaih (shalat qiyamul lail).

Lantas apa shalat iftitah itu? ”IFTITAH” artinya : pembukaan. Mungkin istilah shalat iftitah tersebut berdasar pada hadis berikut ini :

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ جَمِيعًا عَنْ هُشَيْمٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو حُرَّةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.(رواه مسلم : 1286 – صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - بَاب الدُّعَاءِ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ وَقِيَامِهِ – الجزء : 4 – صفحة : 165)

Dari Al-HJasan, dari Sa'ad bin Hisyam, dari ‘Aisyah, dia berkata bahwa Rasulullah saw, Apabila bangun hendak menunaikan shalat malam, biasanya beliau membuka shalatnya dengan dua rakaat ringan. (HR Muslim : 1286, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Addu'a fi shalatil lail wa qiyaanih, juz : 4, hal. 165)

Dalam matan hadis tersebut terdapat kata "IFTATAHA" (membuka), lalu kata tersebut mungkin diambil sebagai nama dari shalat dua rakaat ringan sebelum shalat malam itu dengan sebutan "SHALAT IFTITAH".

Ada hadits lain yang senada, namun menggunakan kata yang berbeda, yaitu kata yang berasal dari "Bada-a" (memulai), tidak menggunakan kata "Iftataha" (membuka), yaitu :

أخبرنا محمد بن الحسن بن قتيبة بعسقلان ، حدثنا يزيد بن موهب ، حدثنا محمد بن سلمة الحراني عن هشام بن حسان عن ابن سيرين عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا قام أحدكم من الليل فليبدأ بركعتين خفيفتين. (رواه ابن حبان : 2658 – صحيح ابن حبان- المكتبة الشاملة - بَاب الحدث فى الصلاة - الجزء : 11– صفحة :192)

Dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullahsaw bersabda : Apaabila salah seorang kamu bangun hendak menunaikan shalat malam, maka hendaklah memulai dengan dua rakaat ringan. (HR. Ibnu Hibban, 2658, Shahih Ibnu Hibban, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babul Hadits Fish-Shalati, juz : 11, hal. 192)

Dalam matan hadits di atas terdapat sebuah kata yang berasal dari kata "Bada-a", yang artinya "MEMULAI", lalu mungkin ada orang lain yang ingin berkreasi pula dengan membuat istilah baru dengan sebutan "SHALAT IBTIDA", berdasarkan hadits tersebut.

Menurut penulis, sebenarnya cukuplah melaksanakan shalat dua rakaat pendek sebelum melaksanakan shalat malam (tarawih), namun tidak perlu menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah : “Shalat Iftitah”. Karena Rasulullah saw melakukannya tanpa menyebut shalat itu dengan istilah "shalat iftitah". Pada matan hadits berikutnya, Rasulullah saw menyeru memulai shalat malam dengan dua rakaat ringan, namun beliau juga tidak menyebutkan nama shalatnya. Untuk itu, sebaiknya tidak perlu menyebutkan istilah "shalat iftitah", atau mungkin "Shalat Ibtida", agar tidak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi mengumumkannya, misalnya : “mari kita laksanakan shalat iftitah”, dan mungkin di lain tempat ada lagi yang mengumumkan : “mari kita laksanakan shalat ibtida”.

Penyebutan istilah itu tidak penting dan tidak ada manfaatnya, karena tidak ada dasar / landasan "penyebutan namanya", dan yang ada dasarnya/landasannya adalah "pengamalannya". Wallaahu a'lam Bishshawab.

Rabu, 10 Agustus 2011

PERBUDAKAN

Perbudakan telah dikenal jauh sebelum Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai pembawa risalah Islamiah. Ketika itu perbudakan telah tersebar dan mengakar di masyarakat seluruh dunia. Perbudakan hakikatnya adalah perampasan kebebasan hidup seseorang atau sekelompok orang atau mengesploitasi diri mereka untuk bekerja guna kepentingan seseorang atau sekelompok orang lain. Seseorang yang posisinya sebagai budak atau hamba sahaya tidak dapat menentukan sendiri apa yang hendak dilakukan, sebab ia telah dikuasai oleh orang lain. Kedudukannya seperti benda atau alat yang berpindah tangan dari seseorang kepada orang lain, sehingga pemiliknya yang berhak menentukan segalanya untuk benda itu.

Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang seseorang menghambakan diri kpd sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan lainnya. Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yg memiliki budak tsb seseorang yg menjadikan dirinya sekutu Tuhan. Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata, tiada Tuhan selain Allah.

Penyebab Terjadi Perbudakan :

1. Karena perang, pihak yang kalah biasanya menjadi tawanan perang bahkan diperbudak.

2. Karena terlalu banyak hutang kepada seseorang dan ia tidak mampu membayarnya, lalu ia menyerahkan dirinya menjadi budak sebagai pengganti pembayaran hutangnya.

3. Karena kemiskinan, lalu seseorang menjual dirinya dan atau anaknya yang dilakukan karena terpaksa.

4. Karena anak-anak dan wanita yang dicuri oleh orang-orang tidak bertanggungjawab dan selanjutnya mereka diperdagangkan dan diperbudak.

Islam yang ajarannya berdasar tauhid dan cinta kasih sayang tidak menyukai perbudakan. Islam sangat jelas datang membawa pencerahan di samping mencegah dan memberantas perbudakan. Islam juga membebaskan manusia dari perbudakan atau melepaskan mereka dari segala hal yang membelenggu. Tidak membiarkan mereka mendapat perlakuan keji dan hina serta sewenang-wenang. Selain itu, mengembalikan kemerdekaan mereka sehingga memperoleh kebebasan bergerak menjadi maksud utama kedatangan Islam. Dan sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam menjadi pintu yang luas bagi jalan penghapusan perbudakan di dunia dan meninggikan derajat manusia. Dalam memberantas dan menghapus perbudakan, Islam telah melakukannya sejak awal kedatangannya.

Ketika Nabi Muhammad saw masih berada di Makkah, beliau memberi contoh memerdekakan budak yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang memiliki kekayaan. Beliau memerdekaan Zaid bin Haritsah dari perbudakan. Lebih dari itu, beliau bahkan menjadikannya sebagai anak angkat dan mengawinkannya dengan Zainab binti Jahsy, anak perempuan dari paman beliau. Meskipun perkawinannya tidak berlangsung lama. Tetapi perkawinannya itu mempunyai arti istimewa. Karena perbudakan telah menjadi tradisi yang sudah melekat kuat di masyarakat, khususnya di Arab ketika zaman jahiliyah, maka Nabi Muhammad saw tidak menempuh jalan drastis dalam memberantas dan menghapus perbudakan. Beliau melakukannya secara bertahap untuk mengurangi perlawanan.

Beliau menanamkan ajaran persamaan, mempersempit ruang lingkup perbudakan, dan siapa yang memerdekaan budak adalah orang yang berakhlak baik. Dalam rangka itu siapa yang membeli budak untuk dimerdekakan jelas sangat menolong yang sangat dianjurkan dalam islam, yaitu "tolong menolong dalam kebaikan".

Keutamaan Memerdekakan Budak

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي غَسَّانَ مُحَمَّدِ بْنِ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَرْجَانَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُسْلِمَةً أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْ النَّارِ حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ. (رواه البخاري : 6221 - صحيح البخاري– المكتبة الشاملة -بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ - الجزء : 20– صفحة : 430)

Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw bersabda : Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak muslim, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya dari api neraka karena anggota tubuh budak yang dibebaskannya itu, hingga Allah memebaskan kemaluannya dari nereka karena membebskan kemaluaan budak itu. (HR.Bukhari : 6221, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab qaulil llaahi ta'aala Aw Tahriiru raqabatin, juz : 20, hal. 430)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي وَاقِدُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ مَرْجَانَةَ صَاحِبُ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ قَالَ قَالَ لِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا اسْتَنْقَذَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْهُ مِنْ النَّارِ - قَالَ سَعِيدُ بْنُ مَرْجَانَةَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ فَعَمَدَ عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِلَى عَبْدٍ لَهُ قَدْ أَعْطَاهُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ عَشَرَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ أَوْ أَلْفَ دِينَارٍ فَأَعْتَقَهُ. (رواه البخاري : 2333 – صحيح البخاري– المكتبة الشاملة -بَاب فِي الْعِتْقِ وَفَضْلِهِ- الجزء : 8 – صفحة : 437)

Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus], telah menceritakan kepada kami ['Asdhim bin Muhammad] ia berkata : Telah menceritakan kepadaku [Waqid bin Muhammad] ia berkata : Telah menceritakan kepadaku [Sa'id bin Marjanah] sahabat [Ali bin Husin] ia berkata : Abu Hurairah berkata kepadaku : Nabi saw bersabda : Siapa saja orang yang membebaskan (memerdekakan) seorang muslim, maka Allah akan menyelamatkan anggota tubuhnya dari azab api neraka dari setiap anggota tubuh yang dimerdekakannya. Sa'id bin Marjanah berkata : Lalu aku pergi dengan membawa hadits ini menemui Ali bin Husin, maka dia segera menemui budak miliknya yang dulu dia beli dari Abdullah bin Ja'far seharga 10.000 dirham atau 1000 dinar, lalu dia memebebaskan budak itu. (HR.Bukhari : 2333, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Fil-'Itqi Wa Fadhlih, juz : 8, hal. 437)

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ أَخْبَرَنِي أَبِي أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَعْتَقَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِائَةَ رَقَبَةٍ وَحَمَلَ عَلَى مِائَةِ بَعِيرٍ - فَلَمَّا أَسْلَمَ حَمَلَ عَلَى مِائَةِ بَعِيرٍ وَأَعْتَقَ مِائَةَ رَقَبَةٍ - قَالَ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ أَشْيَاءَ كُنْتُ أَصْنَعُهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا يَعْنِي أَتَبَرَّرُ بِهَا قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ. (رواه البخاري : 2353 -صحيح البخاري– المكتبة الشاملة - بَاب عِتْقِ الْمُشْرِكِ - الجزء : 8 – صفحة :469)

Telah menceritakan kepada kami [['Ubaid bin Isma'il], telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Hisyam], ayahku telah mengabarkan kepadaku, bahwa [Hakim bin Hizam ra] pada zaman Jahiliyah telah memerdekakan 100 orang budak dan membawa tebusannya dengan 100 ekor unta. Setelah masuk islam dia membawa 100 ekor unta untuk memerdekakan 100 orang budak. Dia berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah saw, aku katakan : Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang sesuatu yang pernah aku perbuat pada zaman Jahiliyah, aku pernah bertahannus (mengasingkan diri), yaitu untuk mencari kebaikan? Dia berkata : Rasulullah saw bersabda : Kalau kamu islam, kamu mendapat dari kebaikan yang kamu lakukan dahulu. (HR.Bukhari : 2353, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab 'Itqil musyrik, juz : 8, hal. 469)

Memerdekakan budak dari perbudakan merupakan jalan mendaki lagi sukar. Jalan mendaki itu adalah jalan kebaikan, yaitu melepaskan budak dari perbudakan. Allah berfirman :

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ - فَكُّ رَقَبَةٍ

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, (QS. Al-Balad [90]: 12 – 13)

Banayk jalan yang ditempuh dalam Islam untuk memerdekaan budak, antara lain dengan cara memberikan hak kepada budak untuk menerima zakat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan harta zakat. Firman Allah :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[(Q.s. At-Taubah [9] : 60).

Penghapuskan Perbudakan

Islam menetapkan kewajiban memerdekakan budak sebagai tebusan dosa dan pelanggaran-pelanggaran tertentu, sebagaimana dalam firman Allah berikut :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (92)

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (membebaskan pembayaran). Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahakl dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.s. An-Nisaa’ [4] : 92)

لَا يُؤَاخِذُكُمْ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمْ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS.Al-Maidah : 89)

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِي ابْنُ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ أَنْ يُعْتِقَ رَقَبَةً أَوْ يَصُومَ شَهْرَيْنِ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا. (رواه مسلم : 1872- صحيح مسلم-المكتبة الشاملة - بَاب تَغْلِيظِ تَحْرِيمِ الْجِمَاعِ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَلَى الصَّائِمِ- الجزء : 5– صفحة : 429)

Dari Humaid bin Abdirrahman, bahwa Abu Hurairah menceritakan sebuah hadits kepadanya, bahwa Nabi saw memerintahkan kepada seorang yang berbuka (karena jima') di siang hari bulan ramadhan untuk memedekakan seorang budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau member makan enam puluh orang miskin. (HR.Muslim)

Bagi siapa yang masih memiliki budak dan belum memerdekakannya, Islam memerintahkan untuk memperlakukan mereka dengan baik. Firman Allah

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (Q.s. An-Nisaa’ [4]: 36).

Islam Turun Salah Satunya Adalah Menghapuskan Perbudakan Secara Bertahap.

Periode Mekkah

Dalam masa ini masih dihimbau untuk "Membebaskan budak"

فَكُّ رَقَبَةٍ

melepaskan budak dari perbudakan, (QS. Al-Balad [90]: 13)

Disamping himbauan berbuat kebajikan dengan membebaskan perbudakan, juga ada kritikan keras kepada para konglomerat Quraisy Makkah saat itu, agar laki-laki menjaga kehormatannya dengan tidak berzina apalagi memperkosa wanita (budak) yang bukan miliknya. Firman Allah :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mu'minun[23]: 1-7)

Masalah budak yang "Boleh digauli oleh Tuannya" adalah karena belum ada larangan pada periode pertama ini (priode Makkah), tapi hanya boleh menggauli budak miliknya sendiri, tidak boleh menggauli budak milik orang lain. Dan status budak pada priode Makkah disetarakan dengan isteri yang sah. Akan tetapi tidak demikian pada priode Madinah; pada priode Madinah, wajib terlebih dulu dinikahi dengan sah, baru kemudian boleh digauli sebagai suami isteri.

Periode Madinah

Lain lagi pada periode Madinah, ayat-ayat Al-Qur’an turun untuk menghapus perbudakan termasuk untuk melakukan hubungan sex dengan budak. Melakukan hubungan sex, wajib terlebih dulu dinikahi dengan cara yang sah, artinya sudah berkedudukan sebagai suami istri yang sah. Nabi Muhammad SAW tidak dapat mentolerir hubungan yang tidak wajar di antara sesama manusia. Di antara sistem kehidupan yang paling ditentang, karena sangat jelas menggambarkan hubungan yang tidak wajar adalah perbudakan. Perhatikan ayat-ayat yang turun di Madinah, antara lain :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221)
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. [QS Al-Baqarah [2] : 221]

Anjuran menikahi budak-budak wanita merupakan salah satu cara Islam untuk membebaskan budak dari perbudakan. Kalaupun dia tidak sempat merdeka, tetapi karena diikat suatu pertalian suci, tentu saja perlakuan suami akan lebih beradab dan santun. Untuk pertimbangan masa depan, tentunya anak yang dilahirkannya adalah anak merdeka. Karenanya, Al-Qur’an sangat mendorong agar seseorang mengawini budak-budak wanita mu’min, sebagaimana ayat berikut ini :

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (25)

Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain[285], karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.An-Nisa [4] : 25)

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177)

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS.Al-Baqarah : 177)

Dalam ayat ini, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan dimiliki bagi orang-orang yang memerdekakan budak, sehingga Allah menyamakan kebajikannnya denga beriman kepada-Nya, beriman hari akhirat, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan kebajikan lainnya. Pada ujung ayat Allah mengklaim bahwa orang-orang yang memerdekakan budak termasuk salah seorang yg bertaqwa.

Memerdekakan Budak Dengan Mukatabah

Mukatabah ialah memberikan kemerdekaan bagi budak bila ia menuntutnya sendiri dg imbalan sejumlah uang yg telah disepakati oleh kedua pihak ( tuan dan budaknya ) dan akan di tunaikan oleh pihak budak secara berangsur ; bila ia telah menunaikannya maka merdekalah sang budak tersebut.
Syariat Islam menjamin pelaksanaan mukatabah ini dengan firman-Nya :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (33)

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka[1036], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[1037]. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu[1038]. (QS.Annur : 33)

[1036] Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, Yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan Perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima Perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi Perjanjian itu dengan harta yang halal.

[1037] Untuk mempercepat lunasnya Perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.

[1038] Maksudnya: Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi.

Sebelum Islam para budak tsb tidak bisa nebus dirinya sendiri, bahkan kalau punya anakpun juga otomatis akan berstatus budak, tidak demikian halnya saat Islam memberi ketentuan pada tahap awal bhw seorang budak yang memiliki anak dari Tuannya maka si anak akan berstatus merdeka.