Kamis, 27 Mei 2010

SHILATURRAHIM

-->
Apabila seorang anak lahir, rasa gembira dan bahagia terlihat di raut wajah ayah dan bunda. Demikian pula para kerabat dan sahabat, dengan langkah yang lapang dan hati yang tulus berbondong-bondong ikut bergembira datang berkunjung ke rumah bersalin. Itulah awal jalinan “kasih sayang” __ salah satu arti shilaturrahim __ dengan seorang anak manusia, bayi yang baru lahir dari seorang ibu dalam keadaan suci dan bersih dari noda dan dosa.
Sejalan perputaran waktu, detik demi detik, anak terus tumbuh berkembang. Sementara segala kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh ayah dan bunda. Namun tidak dapat diingkari, kegagahan dan keperkasaan ayah bunda terus melemah dan berkurang dimakan usia. Sang anak mulai masuk usia dewasa yang layak untuk mandiri. Kebutuhan hidupnya sedikit demi sedikit sudah dipenuhi dengan hasil usahanya. Bidang usahanya semakin berkembang dan kebutuhan hidupnyapun semakin tinggi membubung. Keinginan terus memanjang dan langkahnya-pun bertambah jauh ke negeri orang.
Amanah dan tanggung jawab satu demi satu sudah membebani pundaknya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Yang Maha Kasih. Ujian demi ujian berat mulai bermunculan, mungkin berupa nikmat, anugerah Allah yang melimpah dan menyenangkan, sehingga dapat mengantarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan mungkin berupa musibah atau bencana yang secara jasmaniah tidak menyenangkan. Dengan kondisi seperti itu, masih mampukah menjaga atau memelihara “shilaturrahim”?.
Shilaturrahim adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata bahasa Arab, yaitu Shilatun dan Rahimun [صِلَةٌ – رَحِمٌ] . Kata shilatun berasal dari kata “Washala” yang berarti menghimpun, menghubungkan dan menyambung. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “shilatun” adalah menghimpun sesuatu yang berserakan dan menyambung kembali yang telah putus. Pengertian ini sejalan dengan sabda Nabi :
عن مجاهد قال سمعت عبد الله بن عمرو رضى الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان الرحم معلقة بالعرش وليس الواصل بالمكافى ولكن الواصل الذى إذا انقطعت رحمه وصلها.(رواه البيهقي – سنن الكبرى للبيهقي – الجزء : 7- صفحة :27)
Dari Mujahid ia berkata : Saya telah mendengar Abdullah bin ‘Amer ra berkata : Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya persaudaraan itu tergantung di atas ‘Arsy. Bukanlah disebut menyambung (persaudaraan) orang yang membalas kunjungan (pemberian), tetapi yang disebut menyambung (persaudaraan) adalah menyambung yang telah putus.(HR. Baihaqi, Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, juz 7, hal.27)
Arti lain dari kata “Shilatun” adalah berkunjung dan pemberian yang tulus. Arti ini sangat relevan dengan anjuran Rasulullah saw :
عن أيوب بن ميسرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : عُد مَن لا يَعُودك واَهْدِ لِمَن لا يَهدِي لك.(رواه البيهقي – شعب الإيمان للبيهقي – فصل في التجاوز والعفو وترك المكافأة- الجزء : 17- صفحة :115)
Dari Ayuub bin Maisarah, bahwasanya Nabi saw bersabda : Jenguklah (kunjungilah) orang yang tidak pernah menjengukmu, dan berikanlah hadiah kepada orang yang belum pernah memberikan hadiah kepadamu.(HR. Baihaqi, Syu’abul Iman Lil-Baihaqi, Fashl Fittajaawuz wal-Afwi wa tarkil-Mukaafa-ah, juz 17, hal. 115)
Sedangkan kata “Rahimun” pada mulanya berarti “kasih sayang”, lalu berkembang, sehingga berarti pula “kandungan” . Arti ini senada dengan firman Allah :
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Dialah yang membentuk kamu dalam rahim (kandungan) sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.Ali ‘Imran [3] : 6)
Hal ini dapat dipahami, karena anak yang dikandung selalu mendapatkan kasih sayang. Dari arti di atas lalu berkembang lagi, sehingga kata rahim juga berarti “keluarga atau kaum kerabat”. Arti ini seirama dengan arti firman Allah :
لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Karib kerabat (arhaam, bentuk jamak dari kata rahim) dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.Almumtahanh [60] : 3)
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa shilaturrahim adalah menghimpun dan menyambung kembali yang telah putus dengan cara berkunjung yang diwujudkan dengan adanya pemberian (hadiah) yang tulus, sebagai bukti adanya kasih sayang, sehingga tercipta hubungan kekeluargaan yang lebih akrab.
Memelihara shilaturrahim dengan kerabat dan sahabat, berarti memelihara hubungan harmonis dengan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Hal ini seirama dengan hadis Qudsi :
عَن عبد الرحمن قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قال الله عزوجل : انا الله وانا الرحمن خلقت الرحم وشققت لها من اسمى فمن وصلها وصلته ومن قطعها بتته.(رواه البيهقي – سنن الكبرى للبيهقي – الجزء : 7- صفحة :26)
Dari Abdurrahman, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda : Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman : Aku adalah Allah, dan Aku adalah Maha Pengasih, Aku yang menciptakan persaudaraan (Rahm) dan Aku pula yang membentuk namanya dari nama-Ku. Barangsiapa yang menyambungnya, maka akan Aku sambungkan dia, dan barangsiapa yang memutuskannya, maka akan Aku putuskan dia.(HR. Baihaqi, Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, juz 7, hal.27)
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي قَابُوسَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ.(رواه الترمذي : 1847 -بَاب مَا جَاءَ فِي رَحْمَةِ النَّاسِ – الجزء : 7 – صفحة : 161)
Ibnu Abi Umar bercerita kepada kami, Sufyan bercerita kepada kami, dari ‘Amer bin Dinar, dari Abi Qabus, dari Abdullah bin ‘Amer ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Orang-orang yang penyayang itu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang Maha Kasih Sayang. Berikanlah kasih sayang kepada penghuni bumi, maka yang di langit akan mencurahkan kasih sayang kepadamu. Kasih sayang (Al-Rahim) diambil dari sifat Allah Yang Maha Kasih (Al-Rahman). Barangsiapa yang menyambung kasih sayang (shilaturrahim), maka Allah akan menyambung hubungan kasih sayang dengannya. Dan barangsiapa yang memutus hubungan kasih sayang (qathi’aturrahim), maka Allah akan memutuskan hubungan kasih sayang dengannya. (HR.Tirmidzi : 1847, Bab Maa Jaa-a fii Rahmatinnas, Juz : 7,hal.161)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكِرْمَانِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ حَدَّثَنَا يُونُسُ قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ الزُّهْرِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.(رواه البخاري : 1925 – صحيح البخاري - بَاب مَنْ أَحَبَّ الْبَسْطَ فِي الرِّزْقِ – الجزء : 7- صفحة : 227)
Muhammad bin Abi Ya’qub Al-Kirmani bercerita kepada kami, Hassan bercerita kepada kami, Yunus bercerita kepada kami, Muhammad, yaitu Azzuhri berkata diterima dari Anas bin Malik ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang ingin dimudahkan rizkinya dan dikenang sejarah hidupnya, maka sambunglah persaudaraan (shilaturrahim).(HR. Bukhari : 1925, Shahih Bukhari Bab Man Ahabbal Batha Firrizqi, juz : 7, hal. 227)
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ - أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (QS.Muhamma

Sabtu, 22 Mei 2010

PANDAI BERSYUKUR

-->
Pada suatu hari Rasulullah saw sewaktu di Madinah dikunjungi seorang wanita tua. Beliau menyambut dan menjamu si wanita dengan penuh hormat dan dengan sikap riang gembira. Lalu beliau menggelar mantelnya di tanah untuk tempat duduk wanita itu sebagai penghormatan. Setelah wanita itu pulang, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw : Rahasia apakah gerangan yang terdapat pada wanita itu sehingga Rasulullah memberikan penghormatan yang luar biasa. Beliau menjawab : “Dia pernah berkunjung kepada kami ketika Khadijah masih hidup”.[1]
Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar pandai membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan yang lebih tinggi nilainya dari apa yang diterima, paling tidak, balasan itu sebanding dengan apa yang diterima. Allah telah memberikan petunjuk dalam firman-Nya :
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍحَسِيبًا
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS.An-Nisa’ [4] : 86)
Sekecil apapun kebaikan seseorang kepada kita, semestinya disikapi dengan syukur. Demikianlah pesan Rasulullah saw buat kita sebagaimana terekam dalam sabdanya :
حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو وَكِيعٍ الْجَرَّاحُ بْنُ مَلِيحٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ : مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ - وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ - وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ.(رواه احمد : 18543 – مسند احمد – باب بقية حديث النعمان بن بشير رضي الله عنه- الجزء : 39 – صفحة : 344)
Manshur bin Abi Muzahim bercerita kepada kami ia berkata : Abu Waki’ Al-Jarrah bin Malih bercerita kepada kami, dari Abdirrahman, dari Asysya’by, dari Annu’man bin Basyir ia berkata : Nabi saw bersabda di atas mimbar : Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat yang kecil, maka belumlah dia dapat mensyukuri nikmat yang besar. Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka belumlah dia dikatakan bersyukur kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Menyiarkan nikmat Allah adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur. Hidup berjama’ah adalah rahmat, sedangkan bercerai berai adalah azab. (HR.Ahmad : 18543, Sunan Ahmad, bab Baqiyyah Hadits Annu’man bin Basyir ra, juz : 39, hal.344)
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الرُّوَاسِيُّ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ. (رواه الترمذي : 1878 – سنن الترمذي - بَاب مَا جَاءَ فِي الشُّكْرِ لِمَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ – الجزء : 7 – صفحة : 211)
Hannad bercerita kepada kami, Abu Mu’awiyah bercerita kepada kami, dari Ibnu Abi Laila, Sufyan bin Waki’ bercerita kepada kami, Humaid bin Abdurrahman Arriwasi bercerita kepada kami, dari Ibnu Abi laila, dari ‘Aithiyyah, dari Abi Sa’id ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka belumlah dia dikatakan bersyukur kepada Allah. (HR.Tirmidzi : 1878, Sunan Tirmidzi, Bab Maa Jaa-a Fisysyukuri Liman Ahsana Ilaik, juz 7, hal.211)
Kalau kita pandai bersyukur, sebenarnya ada manfaat yang pasti akan kembali kepada diri kita sendiri. Firman Allah :
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu : Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS.Luqman [31] :12)
قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Sulaiman berkata : Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.(QS.Annamel [27] : 40)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS.Ibrahim [14] : 7)



[1]. Permadi Alibasyah. Ir. Bahan Renungan Kalbu Penghantar Mencapai Pencerahan Jiwa, Yayasan Mutiara Tauhid, Jakarta, 2003, Hal. 415-416

Minggu, 16 Mei 2010

MEMPERSANDINGKAN KATA BID'AH DAN SUNNAH

-->
Kata “bid’ah” berasal dari bahasa Arab Bada’a ( بَدَعَ ) –Yabda’u ( يَبْدَعُ ) - Bad’an (بَدْعًا) atau Badu’a ( بَدُعَ ) – Yabdu’a ( يَبْدُعُ ) – Bada’atan ( بَدَاعَةً ) / Buduu’an ( بَدُوْعًا ) artinya :
مَا أُحْدِث عَلَى غَيْرِ مِثَال سَابِقٍ
“sesuatu yang baru diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. [1]
Bid’ah dalam Syarah Muslim oleh imam Nawawi :
(الْبِدْعَة هِيَ كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَال سَابِقٍ)
“Bid’ah adalah segala sesuatu yang dijalankan tanpa ada contoh sebelumnya”. [2]
Dari akar kata yang sama muncul pula kata Badii’un ( بَدِيْعٌ ), yang artinya adalah “sesuatu yang indah atau ajaib atau yang baru muncul yang sebelumnya tidak ada”. Contoh adalah penciptaan langit dan bumi, sebagaimana firman Allah :
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Bid’ah menurut syara’ adalah “sesuatu yang baru muncul dalam agama sesudah Nabi saw, lalu disebut ajaran agama, padahal bukan berasal darinya”.[3] Definisi ini sesuai dengan makna dua hadis Nabi berikut ini :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ.(رواه ابو داود :3990 - سنن ابو داود – باب في لزوم السنة)
Muhammad bin Ash-Shabah Al-Bazzar bercerita kepada kami, Ibrahim bin Sa’ad bercerita kepada kami, dan Muhammad bin ‘Isa bercerita kepada kami, Abdullah bin Ja’far Al-Makhrami dan Ibrahim bin Sa’ad bercerita kepada kami, dari Sa’ad bin Ibrahim, dari Al-Qasim bin Muhammad, diterima dari Aisyah ia berkata : Rasuluilah saw bersabda : Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Abu Daud : 399, Sunan Abu Daud, bab fii Luzuumis-Sunnah)
أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ :..... وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.(رواه النسائي)
Utbah bin Abdillah mengabarkan kepada kami, ia berkata : Ibnu Al-Mubarak bercerita kepada kami, dari Sufyan dari Ja’far dari ayahnya dari Jabir bin Abdillah ia berkata : Rasulullah saw bersabda : .... dan seburuk-buruk perkara adalah mengadakan sesuatu yang baru dan setiap mengadakan sesuatu yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. (HR. An-Nasa’i)
Kalau kita cermati kedua hadis tersebut sebenarnya terdiri dari kalimat berita (كَلاَم خَبَرِي) bahwa ada sesuatu yang baru diadakan (dibuat) yang menyalahi agama adalah tertolak, dan pelakunya diancam dengan neraka. Jadi, tidak semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bid’ah yang diancam dengan neraka, karena mungkin terdapat perkara baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah.
Segala sesuatu yang baru dimunculkan, mungkin dipandang baik (Mustahsanah) karena sejalan dengan syari’at islam; dan mungkin dipandang jelek (Mustaqbahah) karena secara nyata bertentangan dengan syari’at islam.[4]
Dalam Fathul Bari (Syarah Shahih Al-Bukhari), bid’ah menurut Imam Syafi’i, terbagi menjadi dua bagian,[5] yaitu :
1. Bid’ah Terpuji (بِدْعَة مَحْمُوْدَة)yaitu sesuatu yang baru diadakan yang sesuai dengan sunnah.
2. Bid’ah Tercela (بِدْعَة مَذْمُوْمَة) yaitu sesuatu yang baru diadakan yang bertentangan dengan sunnah.
Dalam Fathul Bari (Syarah Shahih Al-Bukhari) oleh Ibnu Hajar dipaparkan pendapat Ibnu Abdussalam yang membagi bid’ah dari aspek hukum menjadi lima bagian, yaitu :
1. Bid’ah Wajibah (wajib), yaitu sibuk mempelajari ilmu tata bahasa Arab untuk memahami firman Allah dan sunnah Rasul. Menjaga syari’ah adalah wajib, dan kewajiban dapat dilaksanakan hanya dengan memiliki ilmu alat yang wajib ada sebelumnya.
2. Bid’ah Muharramah (haram), yaitu sesuatu yang menguatkan kelompok yang menyalahi sunnah.
3. Bid’ah Mandubah (sunnah), yaitu segala kebaikan yang tidak terjadi pada masa Nabi, seperti berjama’ah dalam salat tarawih, membangun sekolah, kalimat-kalimat terpuji dalam golongan ahli tashawwuf dan membuat sebuah majlis untuk kelompok diskusi, yang kesemuanya dilaksankan hanya untuk mencari rido Allah.
4. Bid’ah Mubahah (Mubah), yaitu tidak terdapat perintah dan tidak terdapat larangan, seperti jabatan tangan sesudah salat subuh dan sesudah salat Ashar, bersenang-senang dengan makanan, pakaian dan tempat tinggal sesuai dengan selera.
5. Bid’ah Makruhah (Makruh), yaitu sesgala sesuatu yang menyalahi yang utama.
Umar Ibnul Khattab, mengadakan shalat tarawih berjama’ah terus menerus selama bulan Ramadhan, padahal Rasulullah saw melaksanakannya hanya dua malam, dan selanjutnya para sahabat mengadakannya secara terpencar-pencar dengan salat sendiri-sendiri, atau berkelompok-kelompok dengan beberapa kelompok, lalu dikoordinir secara berjama’ah yang dimami oleh Ubay bin Ka’ab,[6] lalu Umar berkata :
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebagus-bagus bid’ah itu ialah ini”.[7]
Kalau kita mau kembali kepada hadis Nabi, lalu istilah "bid’ah" kita sandingkan dengan istilah "sunnah", tentu dapat kita temukan adanya bid’ah yang baik (Hasanah) dan bid’ah yang jelek (Sayyi’ah), seperti hadis berikut :
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.(رواه مسلم : 4830- صحيح مسلم- بَاب مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً وَمَنْ دَعَا إِلَى هُدًى أَوْ ضَلَالَةٍ)
Dari Jarir bin Abdillah : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang mengadakan sesuatu yang baik (Hasanah) dalam Islam, lalu sesudah itu diamalkannya, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengamalkannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun; dan barang siapa yang mengadakan sesuatu yang jelek (Sayyi’ah) dalam Islam, lalu sesudah itu diamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengamalkannya dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun. (HR.Muslim : 4830, Shahih Muslim, bab Man Sanna Sunnatan hasanatan aw Sayyiatan wa man da’aa ilaa Hudhaa aw dhalaalatin)
Kemudian timbul pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan isi hadis “segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka”?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut “Ilmu Balaghah”. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk di neraka”.
Bid’ah itu kata benda, tentu setiap benda mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, dan mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, (حدف الصفة على الموصوف) “membuang sifat dari benda yang bersifat”.
Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan, yaitu :
Kemungkinan pertama
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik adalah sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Yang pertama ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat bisa berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
Untuk itu, kemungkinan yang pasti bisa adalah yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Akhirnya dapat dipahami, bahwa bid’ah yang tergolong sesat dan diancam dengan neraka menurut syari’ah Islam adalah segala sesuatu yang baru dimunculkan atau diadakan yang belum pernah dicontohkan pada masa Rasulullah serta menyalahi syari’at Islam.



[1]. المنجد في اللغة والأعلام – دار المشرق – بيروت – لبنان - صفخة : 29
[2]. شرح النواوي على مسلم – باب تخفيف الصلاة والخطبة – الجزء : 3 – صفحة : 247
[3]. اصول البدع – لمحمد النادي محمد البدري - محاضرات في اصول البدع والسنن - لطلبة الدكتورال قسم الدعوة بكلية اصول الدين الجامعةالإسلامية الحكومية شريف هداية الله جاكرتا- صفحة : 13
[4]. الأمر بالإتباع والنهي بالإبتداع – باب الخلوة بالنساء الأجنبيات – الجزء : 1 – صفحة : 6
[5]. فتح الباري لابن حجر – باب الإقتدأ بسنن رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الجزء : 20 – صفحة : 330
[6]. عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ. (رواه البخاري :1871 – صحيح البخاري – باب فضل من قام رمضان – الجزء : 7 – صفحة : 135)
Dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdurrahman bin Abdul-Qari’, bahwaanya ia berkata : Saya keluar bersama Umar bin Khathab pada suatu malam bulan Ramadan pergi ke masjid. Didapati di dalam masjid orang-orang mengerjakan salat (tarawih) terpencar-pencar. Ada yang salat sendiri-sendiri, dan ada pula orang yang salat lalu diikuti kaum dibelakangnya. Lalu Umar berkata : Saya berpendapat, seandainya aku kumpulkan orang-orang ini mengerjakan salat dalam satu Qari’ (imam), tentu lebih menyerupai salat Rasulullah. Kemudian dikumpulkan mereka dipimpin seorang imam bernama Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada malam yang lain aku datang ke masjid, lantas saya melihat orang-orang mengerjakan salat dengan salat yang dipimpin oleh satu orang imam. Lalu Umar berkata : “Sebagus-bagus bid’ah itu adalah ini”.(HR. Bukhari : 1871, Shahih Bukhari, Bab Fadhku Man Qaama ramadhan, juz : 7, hak. 135)
[7]. البخاري : 1871 – صحيح البخاري – باب فضل من قام رمضان – الجزء : 7 صفحة : 135